16.Halilintar & Gada

22 2 0
                                    

Halo pembaca semuanya. Adakah yang mantengin cerita ini? Jika ada komen ya. Jika tidak ada ya mau bagaimana lagi.

Cerita Penjaga Malam ini sebenarnya masih jauh dari jalur yang benar. Entah karena penulis kebanyakan karya yg tidak selesai, jadi seperti ini. Penulis hanya mampu berusaha sekuat tenaga sampai cerita ini benar-benar tuntas. Tidak apa dengan ending menggantung, yang penting ceritanya selesai.

Nah, mengenai cerita ini. Jika melihat judul babnya, jangan dulu berpikir soal Atta Halilintar ya. Karena dia nggak ada hubungannya dengan cerita ini.

Di sini ada kemungkinan judul bab ini akan ada hubungannya dengan Serdadu Hansip yang saat ini sudah publish meski hanya di wattpad ini. Apapun dua kata itu, nanti para pembaca akan tahu jika membaca kelanjutan dari cerita ini.

Terima kasih dan mohon maaf jika kepanjangan.


====================

Banyuwangi, tahun 1989

Malam itu, hujan deras mengguyur Desa Danayasa. Desa yang lokasinya terpencil itu berjarak kurang lebih 20 kilometer ke selatan dari Banyuwangi.

Di dalam sebuah rumah beratap seng, seorang bocah lelaki tampak duduk termenung menghadap piringnya yang kosong di atas meja lusuh itu. Tidak ada seorang pun di dalam rumah itu selain dirinya. Kedua orang tuanya sudah lama tiada. Ayahnya telah lama meninggal karena sakit keras. Sedangkan ibunya kini menghilang entah kemana.

Rumor yang beredar bahwa ibunya pergi menuju sebuah desa yang konon sebetulnya tidak pernah ada. Sebuah desa yang menurut isapan jempol adalah sebuah desa yang dihuni makhluk halus.

Kembali ke anak lelaki yang kini sedang berbaring di atas tempat tidur papan beralas tikar pandan yang sudah terkoyak sebagian.

Tiba-tiba kilat berkelebat disusul suara petir menggelegar membuat bocah itu menutup kedua telinganya. Kilat dan petir setidaknya telah dua kali menyambar di sekitar rumah beratap seng tempat si bocah gemetar ketakutan.

Di dalam rumah, si bocah masih merungkut di tempat tidurnya sambil kedua telinganya tatkala kilat berkelebat kembali. Di saat itu si bocah menyadari jika atap rumah yang didiaminya bocor. Otomatis air hujan mengalir melalui atap yang bocor dan mengenai tubuhnya.

Si bocah pun beranjak sembari mencari wadah untuk menampung air yang terjun dari bocoran di atap rumahnya itu. Ia pun menguak-nguak sebuah lemari kecil yang berisi perabotan dapur. Tak lama ia pun menemukan sebuah panci logam zaman dulu yang dilapisi cat bercorak loreng yang sudah mulai terkelupas dan berkarat.

Ia pun membawa panci tersebut ke tempat tidurnya kemudian menaruhnya di sana.

Namun belum sempat tangannya melepas panci tersebut, mendadak petir kembali menyambar. Kali ini dengan frequensi yang lebih kuat. Tidak hanya itu, petir tersebut menyambar masuk ke dalam rumah dan mengenai panci yang dipegang si bocah.

Glederrrrrrrrr

Tak ayal tubuh si bocah terkena hantaran listrik hasil dari sambaran petir besar itu. Panci yang menjadi penghantar petir tersebut berubah bentuk menjadi tidak beraturan dalam kondisi gosong.

Sedangkan si bocah kini tergeletak dalam kondisi tubuhnya gosong dengan pakaiannya yang robek-robek.

Sedangkan di luar rumah, hujan telah berhenti pasca petir tersebut menyambar ke dalam rumah. Beberapa orang warga tampak menggedor-gedor pintu rumah di mana si bocah terkapar.

"Lintar, Lintar, Lintar! Kamu tidak kenapa-kenapa, nak?" begitu teriakan para warga desa yang berusaha membuka pintu karena pintu terkunci dari dalam.

Sang Penjaga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang