12. Hotel Dahlia

26 4 0
                                    

Malam itu di salah satu sudut kota Purwakarta. Sebuah mobil sedan berwarna hitam menepi kemudian berhenti tepat di bawah sebatang pohon besar yang berdiri dibatasi tembok pagar yang tinggi.

"Di sinilah kita akan memulai," ujar Alfred seraya menghela nafas. "Apapun nanti yang akan kita hadapi, kita harus siap."

"Shojiro Practice, huh? Jujur saja aku tidak tertarik berurusan dengan orang-orang itu lagi. Apalagi kau pernah bersama mereka bahkan hampir membunuhku dan teman-temanku," tukas Amel seraya memperhatikan kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang.

"Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan mukaku di hadapan mereka. Sekarang aku gagal menyelamatkan diriku sendiri sampai-sampai meminta bantuan kepada orang-orang yang pernah menjadi musuhku. Aku sebenarnya segan, namun aku harus melakukannya," ucap Alfred seraya mengeluarkan smartphone-nya. "Kita akan check in. Hotel Bunga Dahlia adalah yang terbaik di kota ini." Alfred kemudian melajukan mobilnya.

Beberapa saat kemudian mobil yang dikemudikan Alfred tiba di parkiran sebuah hotel bernama Bunga Dahlia Hotel & Resort.

"Aku tidak mau sekamar denganmu!" ujar Amel setelah keluar dari mobil.

"Kita lihat saja, apakah tersedia cukup kamar untuk kita berdua masing-masing atau hanya ada satu kamar yang tersisa," tukas Alfred seraya menarik keluar sebuah tas ransel berwarna hijau tua dari bagasi.

Sesampainya di lobi hotel, Alfred langsung mendatangi meja resepsionis.

"Ada kamar yang kosong, mbak?" tanya Alfred.

"Ada, mas. Satu lagi," ujar resepsionis perempuan tersebut membuat Amel tercengang.

Dengan hati masygul, terpaksa Amel tinggal sekamar dengan Alfred. Ia merasa jengkel, dan merasa dipermainkan oleh Alfred. Seolah-olah laki-laki bermata satu itu sengaja membawanya ke hotel yang kamarnya hampir penuh semua kecuali satu.

"Tenang saja, aku tidak akan macam-macam terhadapmu. Kamu bisa tidur nyenyak, sementara aku bekerja," ujar Alfred seraya memeriksa seisi kamar hotel untuk memastikan semua fasilitas dapat digunakan dengan baik. "Dispenser air minum, huh? Lumayan juga daripada membeli air isi ulang tiap minggu," gumamnya saat memeriksa dispenser air minum yang menempel di samping lemari.

Amel tidak menyahut. Ia hanya duduk di atas sebuah kursi sambil mengingat Rani yang ia tinggalkan begitu saja di rumahnya bersama Zainal.

Sementara Alfred, mengeluarkan sebuah laptop dari dalam tas hijaunya kemudian menaruhnya di atas meja. Selanjutnya ia menghidupkan laptop tersebut dan berkutat dengan mimik serius.

Hening, suasana seperti sedang berada di dalam kamar yang diisi dua orang yang sedang marahan.

Amel yang merasa tidak tahan dengan hal itu akhirnya menuju ke kamar mandi. Ia ingin melepas penat dan menyegarkan badannya di bawah shower. Di dalam kamar mandi, Amel dengan bebasnya bertelanjang ria sambil sesekali bersenandung kecil di bawah gemericiknya air yang keluar dari shower.

Di luar, Alfred hanya menggelengkan kepala. Ia sejenak menatap ke arah bayangan Amel yang tergambar di dinding kaca berlapis plester putih. Gadis itu telanjang. Tidak hanya itu, gadis itu terlihat sedang mengusap-usap area pribadinya.

Alfred mengalihkan perhatiannya ke layar laptop. Selanjutnya kedua tangannya bersiap mengetikkan sesuatu di keyboard. Namun ia membatalkan niatnya ketika merasakan ada sesuatu yang janggal di luar hotel.

Alfred pun bangkit dari duduknya kemudian mengintip melalui jendela dengan masuk ke balik gorden. Ia memperhatikan keluar jendela dan mendapati pergerakan orang-orang yang terlihat mencurigakan di sekitar mobilnya yang terparkir di sana.

Sang Penjaga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang