Bayang tentang dirimu kembali memenuhi pikiranku, semua kenangan bersamamu bagai menari-nari dalam ingatan. Ada sedikit harapan untuk bisa sekedar melihatmu meski hanya sebentar. Saling menyapa dan berbagi cerita, mungkin dengan sedikit tawa. Meski kusadari bahwa kemungkinannya sangatlah kecil. Kotamu memang tak sebesar Ibukota, tapi tetap saja kabar kedatanganku mungkin tak sampai pada telingamu. Setelah kupikir lagi, apalah arti sebuah pertemuan untuk saat ini? Tak lebih dari sekadar pertemuan dua insan yang akan merasa kikuk satu sama lain, kebingungan perihal topik pembicaraan seperti apa yang pantas untuk dibicarakan.
Sore itu, setelah hujan berhenti mengguyur jalanan, aku bergegas pulang. Menerobos padatnya kota ini, sengaja kubuka jendela mobil yang sedang melaju ini. Harum tanah yang telah dibasahi air hujan itu mengingatkanku padamu, kala itu kita berjalan sembari melontarkan beberapa canda dan berbagi tawa. Meski saat itu malam terasa lebih dingin dari biasanya, tatapanmu selalu bisa menghangatkanku. Ya, malam itu adalah malam terakhirku bersamamu. Sebelum kalutku mengalahkan rasa cintaku yang tertuju padamu. Apakah buku bersampul hitam-putih bergaris merah muda itu telah kamu baca habis isinya? Jika sudah, kuharap kamu tak membuangnya. Jadikanlah buku itu sebagai bukti bahwa pernah ada yang mencintaimu dengan sangat, yang telah memberikan seluruh hatinya padamu, yang selalu memikirkanmu. Semoga kamu mengenangku dengan cara yang baik, sebagaimana aku mengenang semua tentangmu.
Setelah sampai, aku bergegas memasukkan mobil kedalam garasi. Mengambil tas berisi laptop dan jaket yang harus selalu kubawa. Berjalan menuju rumah yang tak begitu besar, ukurannya lebih kecil dari pada rumah-rumah komplek pada umumnya. Aku memang tak pernah menginginkan rumah yang besar, terlalu banyak ruang kosong nantinya. Meski rumah ini tak memiliki ruang berdinding yang luas, tapi halamannya kubuat seluas mungkin. Ditanami beberapa bunga untuk mempercantik suasana, ada pula kebun kecil dimana aku biasanya menanam beberapa pohon untuk bahan memasak. Sedari kecil, Ayah memang selalu mengajarkanku cara bercocok tanam, 'agar bermanfaat' beliau bilang. Betul saja, semua cara menanam yang beliau ajarkan, aku tuangkan pada halaman rumahku ini. Apakah kamu masih mengingat mimpiku? Tinggal disebuah rumah dengan halaman yang luas, atau mimpiku yang ingin menjadi seorang petani. Tuan, mimpiku masih sama meski tak sesuai prediksiku. Sulit menjadi petani di kota sebesar seperti ini...
KAMU SEDANG MEMBACA
Singgahmu tak sungguh.
RomantizmJika memang tak punya keinginan tuk menetap, jangan pernah memuji dalam tatap. - aksa - Bandung, 28 April 2018