Jilid 2

4.7K 48 0
                                    

Han Bian Ki merasa heran. Cepat ia mengirim pukulan bertubi-tubi dengan ke dua tangannya dengan maksud agar si nona suka menangkis. Andai kata ia tidak dapat menangkan nona ini, sedikitnya ia harus dapat merasakan kehalusan dan kehangatan lengan Si Gadis ketika menangkis pukulan-pukulannya! Sambil memukul bertubi-tubi ia mendesak dengan langkah-langkah cepat. Kali ini dia harus menangkis, pikirnya, kalau tidak tentu akan terdesak ke pinggir panggung.

Akan tetapi benar-benar Lu Sian tidak mau menangkis. Pukulan-pukulan keras yang mengeluarkan angin itu ia hindarkan dengan gerakan-gerakan pinggangnya, ke kanan kiri dan terpaksa ke dua kakinya melangkah mundur karena Si Pemuda terus mendesaknya. Benar seperti dugaan Han Bian Ki, akhirnya Lu Sian terdesak sampai ke pinggir panggung dan mundur tiga langkah lagi tentu akan terjengkang. Pemuda ini sudah menjadi girang. Sekali Si Gadis terjengkang ke bawah panggung, berarti ia menang! Cepat ia memperhebat pukulan-pukulannya sambil mengeluarkan seruan panjang.

Tiba-tiba gadis itu tertawa dan Han Bian Ki kebingungan karena ia tidak melihat gadis itu lagi. Tadi ia hanya melihat bayangan orang berkelebat dan bau harum menusuk hidung, membuat hatinya terguncang. Memang semenjak naik ke panggung ia mencium bau harum keluar dari arah gadis itu. Akan tetapi ketika melihat bayangan orang berkelebat, bau harum itu makin keras tercium dan sekarang tiba-tiba Lu Sian lenyap. Apakah sudah terjengkang ke bawah? Ia melangkah maju dan menjenguk ke bawah, akan tetapi tidak tampak apa-apa. Ketika ia mendengar gelak tawa para tamu, cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan terlihat olehnya sang dara jelita sedang tersenyum mengejek!

Seorang yang rendah hati dan tahu diri tentu saja sadar bahwa ia kalah jauh dari gadis itu, akan tetapi Han Bian Ki yang tinggi hati tidak merasa demikian. Malah sebaliknya ia merasa penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju dengan serangan lebih hebat, kini malah menyelingi pukulan tangannya dengan tendangan kilat!

Lu Sian tertawa dan tubuhnya melejit-lejit seperti ikan di darat, berputar-putar seperti gasing namun semua pukulan dan tendangan lawan mengenai angin belaka. Seperti tadi, tiba-tiba gadis itu lenyap dengan cara melompati atas kepala lawannya yang kembali menjadi kebingungan. Watak Liu Lu Sian adalah manja dan gadis ini pun memiliki kesombongan, suka memandang rendah orang lain. Apalagi pemuda itu yang terang kalah jauh olehnya, segera menimbulkan rasa angkuh dan sombong dalam hatinya.

Setelah melompati kepala lawannya, gadis ini hinggap dan berdiri di tengah panggung. Sambil menanti lawannya yang kebingungan mencari-carinya, ia berkata, "Uhh, begini saja pemuda yang hendak mencoba kepandaianku? Kalau masih ada yang seperti dia, harap maju saja sekalian! Jangan kuatir, aku takkan tuduh kalian mengeroyok. Yang menang di antara kalian tetap dianggap menang. Hayo maju, agar aku tidak lelah, melayani kalian!"

Dua orang pemuda menyambut seruan Liu Lu Sian ini. Mereka ini adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan berwajah buruk, seorang lagi adalah pemuda kurus kering, berwajah kekuningan seperti orang berpenyakitan. Dari dua jurusan mereka melompat ke atas panggung. Agaknya mereka ini menganggap bahwa sekarang terbuka kesempatan bagus bagi mereka untuk mencapai kemenangan!

"Saya Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya seperti orang berbisik atau kehabisan napas.

Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju sekaligus agar ia tidak usah berkali-kali menghadapi mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya manandakan seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.

Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan, atau setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan biar pun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian dengan seruan nyaring.

Dua orang yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini, membarengi dengan serangan-serangan mereka karena mereka tahu bahwa serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan lebih banyak memungkinkan hasil baik.

"Menjemukan...!" Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat menarik.

Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan. Serangan mereka galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan tenaga dalam. Pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.

Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang amat lincah. Dan dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu 'terbang' dari atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana. Mereka jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk merangkak bangun.

"Hemm, orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar suara keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat sekali memegang tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh mereka seorang demi seorang terlempar ke luar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan mereka ke luar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar dari halaman gedung.

Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir semua membatalkan niat hatinya, menghibur hati yang patah dengan kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat lihai itu!

Akan tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang dengan langkah tegap dan tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan lambat melompat naik. Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki lweekang yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.

Laki-laki ini sikapnya gagah dan pakaiannya sederhana. Mukanya membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak tampan. Matanya lebar dan alisnya bersambung, sedangkan hidungnya terlalu pesek!

"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang. Sebetulnya saya tidak ada harga untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di sini dan saya amat tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah saya memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah akan tetapi jujur dan sederhana.

Lu Sian tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian karena memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"

"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk membuka serangan," jawab Lie Kung.

"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!"

Secara tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang, pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut! Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak disangkanya nona yang demikian cantiknya begini ganas gerakannya. Maka cepat ia melompat mundur dan mengibaskan tangan, lalu menangkis dengan kecepatan penuh.

Lu Sian tidak sudi beradu lengan. Ia menarik kembali tangannya dan menyusul dengan pukulan tangan miring dari samping mengarah lambung. Sungguh merupakan terjangan maut yang amat berbahaya. Lie Kung ternyata gesit sekali karena dengan jungkir balik ia segera dapat menyelamatkan diri!

Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini benar-benar cepat gerakannya, walau pun tampaknya lambat dan tenang.

Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah Liu Lu Sian mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa pemuda ini merupakan seorang ahli lweekang, dan ternyata benar. Pukulan pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan, buktinya yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya.

Marahlah Lu Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah. Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.

Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang-menyerang, tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.

"Bagaimana kau lihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee Seng menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda mengeroyok Lu Sian.

Kwee Seng memandang acuh tak acuh. "Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lweekeh yang tangguh."

"Ha-ha, kau lihat. Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"

Diam-diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu silat Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) memang hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan melingkar-lingkar. Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas, dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang sekali, kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan ganas, diisi ilmu yang amat keji.

Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!" lalu sekali tenggak habislah arak itu.

Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.

Ramalan Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus setelah pemuda she Lie itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi tepat pada saat lehernya dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya hingga mengenai lengan Lu Sian.

"Plakk!" gadis itu menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas sekali.

Biar pun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia maju lagi mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.

"Cukup...!!" tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.

"Dukkk!" dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.

Dengan kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang yang begitu lancang berani menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa seakan-akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia terpesona. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang pemuda yang begini ganteng!

Rambutnya hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning. Pakaiannya indah dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi, dadanya yang bidang. Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk bagus membayangkan watak gagah dan hati keras. Pendeknya, wajah dan bentuk badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati setiap orang gadis remaja!

Seketika Lu Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga dirinya, ia menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang dikehendakinya. "Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri pertandingan?"

Pemuda itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya mengundurkan diri. Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah itu baru pemuda yang membawa sebuah golok disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya itu membalikkan tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata. "Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali-kali bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sudah terlalu banyak jiwa melayang.... Ah, sayang sekali. Kunasehatkan kepadamu, Nona. Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada guna! Dan kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.

"Eh orang lancang! Bagaimana kau bisa pergi begitu saja setelah menghinaku? Hayo maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-laki ini memiliki kepandaian tinggi seperti terbukti ketika menangkisnya tadi, ia akan merasa puas mendapat jodoh setampan dan segagah ini.

Kwee Seng memang tampan pula, tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biar pun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang 'jantan'!

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata dengan suara perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona. Biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.

"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan diri? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?"

Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari panggung dan cepat-cepat lari ke luar dari halaman gedung.

Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda ganteng itu.

"Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging panggang dengan sumpitnya.

"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.

"Ha-ha-ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah maka Shan-si terkenal sebagai daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh arak.

Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak bisa minum arak banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.

"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan. Akan tetapi kalau disuruh memilih, aku memilih kau, Kwee Seng!"

Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah panggung. Juga para tamu mendengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini mereka memandang ke arah dua orang itu, terutama sekali Kwee Seng yang menjadi pusat perhatian.

Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak? Jelas bahwa Ketua Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.

Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya. Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!

Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah. Kalau ia boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.

"Lo-enghiong, jangan main-main!"

"Ha-ha, siapa main-main? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak, anakku itu akan makin besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri! Ha-ha-ha!"

"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, aku pun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.

Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"

Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana?"

"Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."

"Aku tidak keberatan. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."

"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"

Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!

"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu pemuda ini sudah menang setingkat dari padanya.

"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dari seorang yang mabok!" dengan kata-kata ketus ini Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi.

Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya. Mulut yang biar pun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu. Sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita di depannya. Ia hanya berdiri melamun....

Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!


"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya yang menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.

Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku... aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.

"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak di atas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.

Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum. Begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah.

Lu Sian merasakan ejekan ini. Dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.

"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.

"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.

"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya.

Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.

"Ji-sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras, matanya melotot marah.

Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suheng-nya dan ia mundurkan diri dengan kemarahan di tahan-tahan.

"Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil menggerakan pedangnya dengan cepat.

Pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar dari kilat yang berpencaran ke luar dari sinar pedang itu.

SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang