Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan di depan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.
Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.
Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas.
Akan tetapi anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas.
"Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar.
"Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?"
Suling Emas berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."
Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"
Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."
Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri.
Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata, "Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"
"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengharapkan hadiah apa-apa."
Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? Kami sekeluarga akan merasa tenteram dan aman apabila engkau menjadi kepala pengawal di sini."
"Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."
Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhu-nya disebut-sebut. "Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."
Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.
"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya."
"Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu. "Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!"
Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan 'berani mati' minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?
Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"
Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng, Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja dari petugas dapur!"
Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami beri. Selain dua hadiah itu, kami pun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!"
Suling Emas tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling menyilang.
Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekali pun, ia berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas genteng. Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya, dan semenjak itu nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang.
Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar:
Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana, rakyat makmur negara aman sentosa.
Kaisar yang diberi laporan akan kepergian Suling Emas hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.
Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka.
Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang. Selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga di sana terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?
Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.
Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa. Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mancari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban.
Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam.
Tiga orang tua itu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan Kong Lo Sengjin?
Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut.
Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya.
Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.
Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan. "Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."
"Bacakanlah."
Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.
....akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling, sebutan mereka kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.
Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda.
Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tiga puluh dua orang penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu air laut.
Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan... dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan.
Mereka cepat mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika!
Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil mau pun besar, atau pun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu mereka pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah.
Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena tidak dikemudikan, maka perahu itu menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan!
Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu di dunia kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di dunia kang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)!
Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Ada pun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu, setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ouw, agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata.
Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang sudah runtuh.
Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Sengjin. Sam Hwa, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
AksiSuling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...