Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?"
"Ha-ha-ha! Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut Kong Lo Sengjin!"
Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"
Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"
Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"
Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.
"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.
Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari mulutnya.
"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"
Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.
Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.
"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"
"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"
Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!
"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.
Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.
Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"
Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.
"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata Kim-mo Taisu.
"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"
"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."
Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"
"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."
Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"
"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"
"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"
"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."
"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."
"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.
"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.
Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"
Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar.
Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."
"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.
Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.
Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.
Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"
Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!
Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkali-kali.
Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."
Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"
Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"
Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.
Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian.
Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.
Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
حركة (أكشن)Suling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...