Liu Lu Sian tertawa. Suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan. "Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita lanjutkan...."
Tiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu, yang segera meloncat bermodal tenaga dorongan Kwee Seng. Pemuda itu sendiri juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti di situ saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian.
Akan tetapi kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Ada pun Kwee Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja. Ujung lengan bajunya mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan tidak mengenai dirinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, dan ternyata dua ekor kuda mereka telah dilarikan orang.
"Keparat hina dina!" Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi!
"Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?" Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
"Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya dibunuh," kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.
"Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biar pun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan. Dua mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya. Melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi, kurasa mereka tidak kurang dari lima orang banyaknya. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita takkan berhenti sampai di sini saja."
Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur mengikuti sepanjang lembah sungai Wu-kiang.
Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam saja tanpa mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya, "Koko, apakah kau masih marah kepadaku?"
Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, "Kenapa marah? Tidak!"
Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.
"Kwee-koko...."
"Hemm, ada apakah...?"
"Kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?"
Mau tidak mau Kwee Seng menoleh. Wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
"Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?" Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan perasaan.
"Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!"
Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar berwatak siluman! Pertanyaan macam ini benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis mana pun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah kembali.
"Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?"
Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. "Aku? Mencintaimu? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?"
"Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin... ah, terlalu banyak aku melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiri... ah, kurasa takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!"
Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran. Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya!
"Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan.
Kwee Seng terheran-heran, lebih heran dari pada terhina oleh ucapan aneh itu. Akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang.
Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri dari debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.
"Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko? Benar-benar menjengkelkan! Aku malam ini ingin sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!"
Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.
"Biar pun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil minum kan dapat juga."
"Ihhh, siapa bilang? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu pada arak, dan... eh, Koko, lihat mereka itu...."
Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali. Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
"Koko, kau lihat mereka..." bisik pula Lu Sian.
"Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan," kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa.
Kemudian pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia di atas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat.
Betapa pun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling sudut matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari perkara karena pandang mata mereka semua kini terarah kepadanya! Dengan gerakan penuh ancaman enam orang itu kini makin mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang dihadapi Kwee Seng dan Lu Sian.
Namun Kwee Seng tetap tenang sambil minum araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga bersikap tenang, namun hatinya berdebar. Tidak biasanya ia bersikap seperti yang diambil Kwee Seng ini. Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi. Baginya, lebih cepat merobohkan lawan, lebih baik.
Para pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang itu mengeluarkan senjata. Beberapa orang tamu yang tadinya sedang menikmati hidangan juga cepat-cepat membayar harga makanan dan segera pergi. Semua orang sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-akan tidak tahu akan semua kesibukan itu dan masih enak-enak minum.
"Siluman betina! Kau harus mengganti nyawa puteraku!" tiba-tiba Si Pemegang Golok yang berwajah muram itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Sian.
Gadis ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum mengejek, kemudian dengan mata berseri-seri memandang kepada pemuda tampan yang membawa pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa pemuda tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang membuat matanya berseri dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-ngedipkan mata kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
"Siapakah puteramu dan siapa engkau? Mengapa pula aku harus mengganti nyawa puteramu?"
"Setan betina! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu sedangkan tadi dengan kejam kau membunuh pula dua orang pembantuku?"
"Aihhh... aihhh... jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda? Sungguh sayang...," gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan yang tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukkan kata-kata 'sayang' itu kepadanya.
"Siluman sombong! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh tergila-gila pada kecantikanmu. Andai kata di dalam pertandingan itu dia kalah, apakah salahnya? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran? Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?"
Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang seorang di antara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.
"Ah, Si Muka Hitam itukah puteramu? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi aku tidak membunuhnya!"
"Kau... setan betina! Siluman cantik! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau masih pura-pura, dasar... perempuan... ren...."
"Cukup, ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!" pemuda tampan yang membawa pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa mata pemuda itu agak kuning.
"Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, dan bukan nona pula yang membunuhnya. Akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan kami minta pertanggung- jawabanmu!"
Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak minum arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. Hemm, pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini?
Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.
"Orang She Lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian! Kalau aku tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!"
Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan. Akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa ucapan itu sama sekali bukan kesombongan kosong. Ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya. Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san. Bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian puteranya telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.
"Bagus! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!" seru si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri.
Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali gadis itu menggerakkan kakinya tanpa terlihat hingga cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian. "Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!"
Hebat sekali serangan Lu Sian ini. Gadis itu dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang di atas meja, dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah!
Sebetulnya melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata masing-masing, mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan.
Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata mereka semua runtuh ke atas lantai. Tanpa mereka ketahui sebabnya, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah di siku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.
"Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi, barulah perbuatan orang yang berakal sehat!"
Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka!
Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya, lalu ia menjura ke arah Kwee Seng. "Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuka mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?"
Kwee Seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri
Suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati
Nama, harta, kepandaian tiada artinya
Yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu.
Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring. "Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya? Dia bersama Kwee Seng, para lo-cianpwe mengenalnya sebagai Kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biar pun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih! Bukankah itu lucu sekali?"
Enam orang itu kelihatan kaget. Tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Setelah Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.
Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapa pun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya! Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawannya kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tarik gadis itu menguasai hatinya.
"Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling? Dan pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?"
"Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat)."
Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. "Apa? Kau betul-betul bertemu dengan Ok-hengcia (pendeta jahat) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kau... kau bertemu dengannya? Bertanding? Dan sulingmu hancur olehnya? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?"
Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. "Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw." Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.
![](https://img.wattpad.com/cover/159762929-288-k869981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
AcciónSuling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...