Ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa,
akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya.
Bagaikan menebarkan debu melawan arah angin,
yang akan menimpa dirinya sendiri!
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu,
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian,
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan?
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa,
engkau akan mencapai sorga, alam para Aria!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan,
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!"
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah betapa dirinya rindu akan kehidupan yang wajar sebagai manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah dari pada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut. "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapa pun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba. Lu Sian menjadi terharu, lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.
Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis, dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasehatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
![](https://img.wattpad.com/cover/159762929-288-k869981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
ActionSuling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...