Pergantian kekuasaan terjadi secara lunak. Benar-benar luar biasa, sungguh pun selama jaman Lima Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan 'musuh' pun tak seorang pun diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Biar pun keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini. Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka, menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama menjadi marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi pemimpin baru. Ada pun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara, dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya bahaya yang paling besar.
Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh panglima-panglima pembantunya yang setia dan gagah perkasa, serta pandai mengatur barisan. Selain ini juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi pula.
Kim-mo Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerajaan baru inilah yang dapat diharapkan akan mendatangkan kemakmuran kepada rakyat. Maka dengan rela hati ia mengulurkan bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka, yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran orang itu untuk kedua kalinya!
Pada masa itu kedudukan bangsa Khitan sudah masuk jauh melewati tembok besar yang tadinya dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih subur dari pada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Ketika barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san. Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan. Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
Para Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur ke balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak. Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu.
Dalam perang ini Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan. Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau dan malam menjadi sunyi sekali.
Namun pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa bendera-bendera itu kini telah lenyap. Di atas tiang bendera yang tengah, yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.
Beberapa orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar.
Empat orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua dalam barisan, dari prajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena begitu bangun tidur mereka berlarian ke luar. Mereka berhenti di luar tenda untuk menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang tengah yang paling tinggi terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Pada saat itu Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk mencatat semua prajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu, bersama Kim-mo Taisu mereka melangkah ke luar. Para prajurit yang tadinya ribut-ribut kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat mukanya.
"Betapa mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima Phang, panglima yang tertua di antara rekan-rekannya, kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu sambil berkata, "Agaknya pihak musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat menerangkan hal ini."
Diam-diam Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar? Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andai kata ia mampu mengamuk dan membunuh puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu!
Berbeda dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur barisan dan siasat perang. Sesungguhnya di tangan mereka inilah letak dasar kemenangan. Andai kata dia disuruh memimpin seratus ribu orang prajurit dan disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh ribu orang prajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini barulah ilmu perorangan seperti yang ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata, "Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali. Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal tanah pasir. Hanya dengan sedikit melirik, dan kembali dengan gerakan yang terlihat sembarangan, ia sambitkan gumpalan tanah itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para prajurit yang mengagumi kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii! Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya!
Tentu saja kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja?
Saking girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata, "Harap diambilkan bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!"
Di dalam hatinya sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan di samping itu juga untuk membesarkan hati barisan. Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?
Ketika lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung.
Jauh dibawahnya, para prajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki lweekang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun suara mau pun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu. Kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah. Namun musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapa pun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena, andai kata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!" Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan prajurit yang berdiri menghadang jalan ke luar!
Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!
"Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya.
Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh. Memang tidak terlalu kepagian mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet serta tambur orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian turun setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri.
Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkan menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain untuk mencegah dan mematahkan serangan gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
ActionSuling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...