Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya, setiap saat ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati. Setiap kali Lu Sian datang, dia melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio."
"Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak.
Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.
Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" tantang Lu Sian sambil tersenyum.
Cu-ciangkun masih belum mau percaya. "Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju. Kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kau bekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang masih hijau ini. Mana bisa ia tidak merasa 'tersiksa' ketika kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekali pun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher. Untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut, kepalanya menjadi pening, dan napasnya terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biar pun nafsu muda yang sudah selayaknya itu mulai bergelora, namun ia masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin 'tersiksa'.
"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."
"Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus.
"Saya... eh... saya khawatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat 'merosot' ke luar dari pelukan ketat itu!
Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah dipelajari, akan tetapi dasarnya harus kuat. Seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia pun berkata, "Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biar pun hanya bersila!
"Terserah... kepada Toanio...," jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga, biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mukjijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu!
Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sinkang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apa pun juga," Lu Sian berbisik. "Tanpa menggerakkan tubuh sekali pun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!"
Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang. Ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu-ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu...," kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio...." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya.
Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudut kamar sehingga padam.....
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami kehidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.
Biar pun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itu pun merupakan hal yang menguntungkan. Semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalau pun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya ke luar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.
Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian. Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima. Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian yang berpakaian sebagai seorang penduduk biasa pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi di sebelah barat itu. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu.
Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tergerak ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. "Siapakah kakek ini?" pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku adalah patriot-patriot konyol seperti kalian ini, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin! Ia memandang penuh perhatian. Melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itu pun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!" runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili dari pada harus berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!" suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.
"Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!"
Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali. Goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu.
"Singgg...!!"
Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemana pun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat ginkang-nya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka dan pada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian.
Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!" perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya.
Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat sambil menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya.
Hanya dengan menggerakkan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!" teriak si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira.
Mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang prajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat ke luar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja. Ia telah melesat jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tempat itu sambil membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas. Maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawannya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan diperketat, di seluruh kota tampak para prajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana tanpa terlihat oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana. Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana sambil mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu, dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh yang amat lihai itu. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan ingin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sinkang-nya untuk melakukan pukulan jarak jauh.
Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar. Akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi ginkang-nya, sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara, tengah mendekati kamarnya. Selama ini ia tak pernah berhenti berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biar pun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp...!"
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini tertancap golok di atas meja. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!" terdengar suara memaki dan mengejeknya di luar.
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang ke luar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
"Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. Kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang. Aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..., benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampuni dirimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungan apa denganmu? Kau peduli apa?!"
"Wah, benar keras kepala! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!" lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter.
Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sinkang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran.
Di lain pihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar, tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran!
Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjin sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sinkang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sinkang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin.
Kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring, lalu tubuhnya mencelat pula ke atas menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap.
Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan. Sejenak mereka tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biar pun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sinkang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biar pun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak pernah mau kalah. Kemarahannya memuncak ketika mendapatkan dirinya hanya dapat bertanding seimbang saja dalam menghadapi seorang wanita muda. Sambil menggereng liar ia menerjang maju. Tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan.
Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sinkang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago ginkang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main. Tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.
Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak...!" tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang.
Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah membuka matanya lagi, Kong Lo Sengjin tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" kata Lu Sian.
Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir. "Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.
Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya. "Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu."
Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri....
![](https://img.wattpad.com/cover/159762929-288-k869981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)
AksiyonSuling Emas adalah episode kedua dari serial Bu Kek Sian Su yang ditulis oleh Kho Ping Hoo. Cerita ini menyambung langsung kisah sebelumnya yang merupakan pembuka kisah ini. Cerita dalam episode ini nantinya akan dilanjutkan dalam episode berikutnya...