Cirebon Timur, Februari 2015
Aku mengajak keponakanku, Malik, dan Mbak Sari, tetanggaku. Kami bertiga akan pergi ke pasar malam di desa seberang. O ya, ini kamis sore, seharusnya aku diam di rumah dan membaca Yaasiin. Tapi belakangan, sepulang dari Ibu Kota untuk keperluan kerja, aku jadi sering keluar malam.
Alasanku sering keluar malam tentu karena kakakku yang nomor tiga baru seminggu ini membuka warung ayam bakar di pinggir jalan di ujung gang dekat rumah. Jadi kesibukanku di rumah kini ikut menyukseskan warung ayam bakar kakak.
Saat baru sampai di area pasar malam, seseorang yang duduk di jok motor terparkir di pinggir jalan memanggil nama Malik. Ah, lebih tepatnya menyapa.
Aku refleks ikut menoleh ke sumber sapaan sementara Malik menimpali dengan senyum. Remang. Aku jadi tidak bisa lihat dengan jelas wajah si penyapa. Hanya jelas bahwa pria itu duduk di atas jok sebuah Vixion biru.
Ketika ditanya tadi itu siapa, Malik menjawab: "Kakaknya Mas Abi."
Aku cuma manggut karena merasa tidak kenal.
🌞🌞🌞
Kakakku yang nomor tiga itu, ibunya Malik, bersuamikan seorang ustaz. Setiap bakda Maghrib, kegiatannya mengajari anak-anak tetangga mengaji. Salah satu muridnya bernama Abi, kelas 3 MTs.
Mbak Sari juga punya seorang anak lelaki kelas 1 SMK bernama Agam. Pun ikut mengaji di majelis ta'lim milik kakak.
🌞🌞🌞
Cirebon Timur, Mei 2015
Di rumah aku tidak punya teman bermain. Sepanjang hidup tinggal di daerah ini aku habiskan untuk bermain bersama delapan keponakan.
Aktivitas terbaruku saat ini adalah membungkus sambal dan lalapan di teras rumah kakak.
Teras rumah kakak selalu ramai selain dipakai jadi tempat belajar ngaji anak-anak pada malam hari.
Biasanya para ibu-ibu di sekitar tempat tinggalku menjadikan teras rumah kakak sebagai markas dadakan di siang hari.
Mbak Sari sibuk mengupas, mencuci, dan mengolah bumbu ayam di teras rumah kakak. Dia sepakat ikut membantu kakak. Kadang juga Mbak Sari yang membungkus sambal dan lalapan kalau aku kedatangan Lili, keponakanku yang paling kecil, akhir tahun nanti ulang tahun yang kedua.
Mbak Fatma juga sering gabung mengajak anak-anaknya, Asma 7 tahun dan Fahmi 15 bulan. Sekadar mengajak bermain atau sebagai ajang menyuapi masal.
Teras akan makin ramai kalau Mbak Ipah datang bersama putra bungsunya, Dika, 6 bulan.
Begitulah seterusnya. Kehidupanku ramai dengan adanya ibu-ibu sosialita. Kadang mereka juga tidak sungkan membahas masalah intim dan vulgar di hadapan anak kecil sepertiku. Ups, usia sembilan belas tahun lebih delapan bulan, masih terbilang kecil, kan?
"Yang sebelah ini sih kapan?" celetuk Mbak Fatma sembari melirikku yang masih sibuk dengan mobil mini milik Dika.
Mbak Sari menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali pada cabai dan tomat yang sedang dipotongnya. "Jangan nyari yang jauh-jauh, Te! Sama tangga depan aja...."
"Siapa tuh?" Mbak Ipah tertawa melihat ekspresi wajahku yang kian memerah.
Fahmi makin gesit mendorong mobilnya, Dika dan Lili kini beralih pada boneka barbie yang tangannya lepas satu karena rebutan. Aku selalu merasa nyaman berada di antara anak-anak yang begitu penuh kejutan. Dunia menakjubkan anak-anak yang amat fantastis seakan tak mau aku tinggal terjelepak begitu saja begitu aku memasuki ambang dewasa.
Para ibu-ibu itu masih asyik dengan bahan rumpi mereka. Mengingat aku sempat jadi topik pembahasan mereka, membuat romaku begidik tanpa aba-aba. Pikiranku pun mendadak bercabang tanpa tahu tujuan pasti.
Bagaimana bila topik pembahasan mereka mengenai aku, mulai bertransformasi ke ranah yang lebih horor seperti "tidak laku" atau "perawan tua"? Aku sungguh dibuat worry oleh pemikiran liarku sendiri. Bagaimana bila sampai melebihi targetku untuk menikah pada usia matang menurutku sendiri—di atas usia dua puluh lima tahun—aku belum juga menemukan sosok yang pas?
Lagi pula aku ini putri bungsu. Pasti orangtua dan para kakak juga tidak keberatan dengan prinsipku. Dan aku sama sekali tidak punya alasan pasti mengapa harus takut dikatakan begitu.
Berkali-kali aku mencoba masuk dalam obrolan para ibu-ibu, dan berkali-kali pula aku hanya menemukan ketidak cocokkan. Topik mereka terlalu berat untuk ditelaah oleh remaja kecil sepertiku. Maka, bukan salahku bila aku malas untuk belajar jadi dewasa.
"Ate Icha, kelahiran tahun berapa sih?" tanya Mbak Ipah, membuyarkan lamunan konyolku.
Aku mengerjap sejenak. Tanya tahun lahir? "Tahun ini Icha mau dua puluh, Mbak."
Selepas itu, Mbak Ipah kembali heboh dengan obrolannya bersama Mbak Fatma dan Mbak Sari. Terus begitu hingga terdengar azan Ashar.
Sejak itu, aku jadi tidak lagi takut dengan prinsipku. Makin mengukuhkan bahwa being single is all right, don't worry or ashamed for being single in twenty something. Aku malah dibuat jadi makin bersyukur karena telah memutuskan demikian. Iya dong. Apa lagi yang perlu ditakutkan untuk tetap jadi single bila telah yakin sudah berada di jalur yang benar menurut keyakinan?🌞
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAMS
RomanceBagaimana sikapmu menghadapi dunia, ketika kau tahu bahwa kau lahir dari keluarga agamis, sedangkan sejak beranjak dewasa kau sudah mulai menjauhi ajaran-ajaran keluarga? Bagaimana perasaanmu ketika mendengar sebuah suara yang-rasanya begitu m...