2. Dapur

18 9 2
                                    

Cirebon Timur, Juli 2015

Topik yang lagi viral di kalangan ibu-ibu di teras rumah Kakak adalah:

Mushallah kedatangan muazin baru.

Desas-desus yang terdengar, Syamsul memiliki suara yang bagus. Pujian-pujian yang dilantunkannya sembari menunggu waktu iqamat, selalu bervariasi. Kekinian dan tidak terlalu klasik sekali. Juga karena dia tidak pernah telat azan. Lima waktu penuh dia terus yang azan. Tapi terkadang bergantian antara Agam, Abi, atau santri-santri Kakak yang lain.

🌞🌞🌞

Suatu hari, paska Lebaran Idul Fitri, mendadak Mbak Ipah menanyakan nickname akun facebookku.

Aku santai saja.

Hari-hari berikutnya aku lewati sambil menunggu permintaan pertemanan di akun facebook pribadiku, atas nama Mbak Ipah muncul. Tapi sampai sekarang belum juga muncul. Aku enggan membahasnya ketika bertemu. Sampai pada suatu sore ketika aku dan Lili mendatangi rumah kakak, kulihat Kak Mukti--suami kakak--tengah duduk di teras bertemankan seorang lelaki. Semakin dekat aku melangkah, semakin jelas apa yang tengah mereka lakukan.

Ada sebuah kitab gundul di pangkuan si lelaki berpeci hitam dengan motif bordil, asyik bercakap-cakap dengan Kak Mukti mengenai salah satu makna di bab kitab tersebut. Pembahasan mereka begitu seru sehingga kehadiranku sedikit pun tidak mengusik.

Aku meneruskan langkah memasuki rumah. Aku membiarkan Lili masuk ke kamar Malik, barangkali mau mengeksploitasi mainan milik sepupunya.

Kutemukan kakak di dapur. Sibuk mengangkat potongan daging ayam dari panci presto. Dia, Kak Khadijah atau Kak Dijah, adalah kakak nomor tiga. Seorang ibu dari dua orang putra.

"Lili mana?" tanya Kakak tanpa mengalihkan perhatian dari panci begitu menyadari kehadiranku.

"Di kamar Malik." Aku menjawab sembari duduk di kursi. "Bagaimana kabar Mahmud, Kak? Kemarin saat menengok rutin tidak ada masalah, kan?"

Lelaki di depan tadi jelas mengingatkanku pada keponakanku yang tengah menempuh studi kelas sebelas di salah satu pondok pesantren di daerah Kuningan.

"Baik. Hafalan suratnya makin bertambah."

Aku mengangguk antusias. Mahmud, seperti juga Malik, memiliki daya ingat yang sangat baik untuk menunjang hafalan. Para keponakanku dari kakak-kakak yang lain juga demikian.

Suara percakapan di teras terdengar sayup-sayup, membuat sebuah desakan rasa ingin bertanya dalam diriku semakin tak tertahan. Aku tidak bisa menampik bahwa tamu Kakak di depan sangat menggangguku. Tapi sebagai putri bungsu dari enam bersaudara yang mana kakak-kakaknya telah berkeluarga, pembahasan mengenai lelaki asing merupakan topik "berat". Walau usiaku kini hampir dua puluh tahun, tetap saja aku selalu takut untuk memilih topik tersebut.

Sekarang Kakak berpindah ke meja. Meletakkan wadah daging ayam dan beralih mengambil teko panas. Meracik teh dan mengisi biskuit ke dalam toples.

"Syamsul masih di depan, ya?"

Aku melongo. Jelas-jelas aku tidak kenal siapa yang dimaksud. "Siapa?"

"Itu yang lagi belajar di depan."

"Ooh, siapa sih dia? Dulunya murid Kak Mukti juga, ya?"

"Bukan, dia putranya Mbak Ipah."

"Mbak Ipah? Yang lagi gemar jadi muazin itu dia?" Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku perihal fakta itu. Kakak sampai menoleh dengan tatapan yang jika dimaknai akan berbunyi "Kamu ketinggalan sekali, terlalu lama tinggal di luar sih."

"Iya." jawab Kakak pendek.

Aku menghela napas. "Bukannya Mbak Ipah nggak punya anak lelaki selain Abi dan Dika, ya? Anak tertua Mbak Ipah Ami, kan? Kalau aku enggak lupa, mungkin usianya sebaya denganku."

"Iya. Tapi dia telah menikah lagi. Nah, si Syamsul itu putra sulung suaminya dengan istri terdahulu."

"Sudah lama dia tinggal di sini?"

"Hmm... lumayan. Mungkin ada sekitar dua tahun."

"Terus si... Syamsul," Euw, aku kok kagok ya menyebut nama itu? "Ibunya ke mana?"

Kakak mengendikkan bahu. "Sama seperti konflik rumah tangga kebanyakan, berpisah dan si ayah menikah lagi dengan banyak wanita."

Mataku membulat. Banyak wanita? Jadi dengan kata lain maksud Kakak, Mbak Ipah itu wanita gampangan?

Kulihat Kakak cuek dengan reaksiku. Dia asyik mengaduk-aduk tehnya di dalam teko. Aku tidak percaya Kakak jadi begitu blak-blakkan membahas sesuatu yang seharusnya disaring terlebih dahulu untuk dibicarakan dengan anak kecil sepertiku.

Sebagai putri bungsu, aku tumbuh dengan prinsip pola pikir yang aneh. Tidak pernah mengenal arti pacaran meski ketika sekolah dulu banyak teman-teman yang menyarankan itu. Bagiku, segala sesuatu yang berhubungan dengan orang dewasa adalah hal tabu untuk aku bahas.

Sejak lulus SMA dua tahun lalu, aku memang jarang sekali berada di rumah. Pagi sampai malam aku ikut menjaga toko milik Kak Hilal--kakak nomor satu--di kecamatan seberang, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke Ibu Kota demi mendapatkan pengalaman bekerja. Sering kali aku tidak pulang ke rumah, sehingga tidak tahu menahu berita apa pun di masyarakat.

Dan... oke. Aku juga mengaku tumbuh jadi anak yang kurang aktif di sosial. Sedikit banyak cenderung menutup diri. Barangkali aku juga telah dicap sebagai anak anti sosial di kalangan masyarakat yang kontra terhadap Majelis Ta'lim yang didirikan Kak Mukti. Tapi sungguh, niatku bukan itu. Aku hanya selalu merasa kurang nyaman ketika berada di keramaian. Mungkin aku terlalu apatis menyikapi komentar mereka sehingga membuatku tidak merasa terusik.🌞

SYAMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang