Cirebon Timur, 28 Agustus 2015
Aku membaca ulang tulisan pada postingan bertanggal empat belas itu. Dia menggunakan bahasa jawa yang jika diartikan lebih kurang akan begini:
"Maa shaa Allah, kalau lihat tetangga belakang pakai hijab, hatiku rasa dag dig dug. Senang kalau lihat perempuan pakai hijab."
Nah, kan. Anak gadis mana yang tidak ge-er ketika mengetahui fakta itu? Memang terdengar konyol dan kekanakan. Akan tetapi aku memiliki penjelasan yang cukup akurat mengenai kesangsian itu.
Pertama, aku memastikan bahwa tanggal empat belas atau empat belas hari lalu, dia ada di sini, tidak sedang pulang ke rumah neneknya di kecamatan seberang. Kedua, fakta bahwa dia adalah tetangga depanku atau bisa juga dikatakan akulah tetangga belakangnya, tidak bisa dibantah. Ketiga, hanya ada dua rumah di belakang rumah milik Pak Ridwan yang sedang disewa keluarga Mbak Ipah: rumah orangtuaku dan rumah kakakku. Keempat, satu-satunya anak gadis yang memiliki peluang besar untuk ditaksir dia, dengan kriteria tersebut, adalah aku. Hanya aku.
Aku menarik napas dalam, menjauhkan ponsel dengan layar menyala. Salah nggak sih, kalau aku menafsirkan sendiri soal ini? Kenapa pula hal sekecil ini bisa memicu adanya perasaan aneh yang mulai menjalar sejak pertama kali aku mengetahui fakta bahwa si dia ternyata diam-diam menguntitku? Oke, fakta itu memang baru kutemui beberapa menit lalu dan terkesan memaksa serta terlalu percaya diri. Tapi kan aku juga perempuan yang selalu sensitif terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Aku mulai berhitung. Akun facebookku dalam mode privat. Aku menyetel pengaturan supaya hanya "teman dari teman" yang dapat mengajukan permintaan pertemanan pada akunku. Dan akun dia dengan akunku sama sekali asing, dalam artian tidak satu pun teman dari teman yang saling berkaitan. Itulah satu-satunya penjelasan mengapa dia tidak mengajukan permintaan pertemanan, karena memang tidak bisa.
Tapi aku juga tidak kehabisan ide. Tidak bisa mengajukan permintaan pertemanan bukan berarti tidak bisa mengikuti, kan? Aku kesal setelah mengecek daftar pengikutku di facebook. Dia juga tidak mencoba mengikutiku. Jadi kesimpulannya, dia juga stalker akut sepertiku.
Biasanya, aku selalu mengaktifkan mode teman untuk jangkauan setiap postingan apa pun yang aku unggah. Tapi terkadang aku juga menyetel mode publik ketika merasa postinganku cukup pantas untuk dikonsumsi publik. Dan postinganku yang dilike akun Syamsul itu kebetulan dalam mode publik, jadi siapa pun bisa menanggapi postingan tersebut.
Setidaknya, dengan penjelasan ini aku bisa sedikit lebih tenang. Tetapi penjelasan mengenai bagaimana dia bisa tahu akunku dan bagaimana bisa kenal aku, itu sesuatu yang sulit untuk dijabarkan. Jelas ini bukan kasus pembajakan seperti asumsiku semula. Mbak Ipah mungkin saja membajak akun milik anak tirinya untuk digunakan menguntit akun facebookku dan mengelike postinganku. Tetapi dengan mengupdate kalimat bahwa si pemilik akun ternyata "menyukai" tetangga belakang, kecil kemungkinannya untuk menjelaskan ini.
Lelah berkutat dengan berbagai asumsi dan prasangka, aku jatuh tertidur tanpa terasa. Dan bangun kembali ketika sebuah suara merasuki gendang telingaku. Suara itu. Suaranya.
Mengumandangkan azan Subuh. Kemudian melantunkan Rabbana Ya Rabbana sebelum iqamat.
Aku tercenung sesaat. Bukan kali ini saja aku mendengar suara itu pada waktu Subuh. Sejak kembali dari Ibu Kota awal Februari lalu, suara itu sudah banyak mendominasi. Tapi baru kali ini aku merasakan sensasi yang benar-benar lain.
🌞🌞🌞
Menginjak September, aku sadar semuanya akan terasa lebih berat. Lili jadi lebih sering dititipkan padaku ketika Kak Hilal, ayah Lili, berangkat ke toko bersama istrinya. Setiap pagi sampai sore aku habiskan waktu bersama Lili. Teras rumah Kak Dijah tetap ramai seperti biasanya menjalang jam keluyuran emak-emak rumpi, dan baru akan bubar setelah mendekati jam para ayah balik kerja.
Aku baru akan memberikan suapan terakhir pada Lili ketika azan Ashar berkumandang. Lagi-lagi itu suara Syamsul. Demi mendengar suara itu, romaku berdiri tanpa aba-aba. Kulirik Mbak Ipah di bawah pohon kersen, mengamati Dika yang asyik bermain pasir ajaib di dalam kotak mainan. Sampai sekarang, aku masih belum mendapatkan penjelasan yang cukup masuk akal perihal ibu dan anak tiri yang sama-sama menguntit akun facebookku. Ah, mengapa harus repot-repot menghabiskan waktu untuk membahas hal begituan?
Mengapa katanya? Jelas ini bukan perkara sepele karena dampaknya sangat luar biasa bagiku. Setelah hari itu aku jadi mengedit satu per satu hingga keseluruhan setiap foto yang menampakkan diriku di akun facebook. Aku mengubah privasinya menjadi "khusus" agar hanya aku si pemilik akun yang bisa melihat. Aku juga meminta sebagian besar teman yang memiliki fotoku di akun mereka agar mengedit atau bahkan perlu dihapus permanen.
Alasanku melakukan itu bukan serta merta karena komentar pedas dari Mbak Ipah. Melainkan karena aku menemukan postingan yang berisi larangan mengupload foto bagi kaum hawa di media sosial, pada hari yang sama ketika aku kritik oleh Mbak Ipah.
Dampak berikutnya membuatku semakin tak bisa berkutik. Setiap kali suara itu terdengar atau pun sosok itu muncul di mataku secara tak sengaja, aku jadi selalu merasa aneh. Aneh yang tidak bisa dideskripsikan.
Dan di luar itu semua, tanpa sadar dan tanpa ada penjelasan yang bisa dijelaskan oleh diriku sendiri, aku mulai rajin mendirikan sembahyang.🌞
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAMS
RomanceBagaimana sikapmu menghadapi dunia, ketika kau tahu bahwa kau lahir dari keluarga agamis, sedangkan sejak beranjak dewasa kau sudah mulai menjauhi ajaran-ajaran keluarga? Bagaimana perasaanmu ketika mendengar sebuah suara yang-rasanya begitu m...