Cirebon Timur, 28 Agustus 2015
Aku menatap lekat permukaan cermin yang menempel pada dua bilah pintu lemari besar di kamarku. Di sana terpantul penampakan seorang gadis berwajah bulat dengan rambut hitam ikal. Daun telinganya polos tanpa ada hiasan apa pun. Dan tubuh semampainya terbalut gamis hijau bersiluet A dengan list kelabu. Selebih itu tidak ada lagi yang perlu digambarkan.
Aku berdecak untuk ke sekian kali. Apa yang salah dari penampilanku?
Demi menjawab pertanyaan itu, benakku otomatis melayang pada percakapan siang tadi dengan Mbak Ipah. Wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu mengomentari akun facebookku. Ooh bukan, lebih tepatnya mengomentari seluruh fotoku yang terupload di sana.
Katanya, di facebook aku kelihatan cantik, ideal, alim, dan nyaris tanpa cela. Tapi pada kenyataannya, ketika dilihat secara langsung--dalam artian bukan dalam bentuk foto atau pun media digital lain--aku tak lebih dari gadis biasa yang terkesan menyembunyikan kekurangan fisik dari kealiman yang selalu ditampakkan olehku. Bahkan sifat manja memberikan kesan minus tambahan di penilaiannya.
Mendengar itu aku benar-benar dongkol setengah mati. Gemas atas komentar yang kelewat jujur itu. Di jaman modern sekarang, tidak aneh bila mendapati foto seseorang tampak begitu lebih bagus dari aslinya. Apa lagi aku merasa kebanyakan foto yang terunggah di akun facebook itu merupakan foto-foto sejak jaman SMP dan MA. Foto pada satu momen, di mana aku sedang meledak-ledaknya gemar selfie atau pun wefie.
Namun kekesalanku agak sedikit reda ketika Mbak Ipah menambahkan bahwa sikapku yang selalu santun terhadap siapa pun, serta tidak pernah menanggalkan bahasa kromo inggil ketika bercakap dengan orang yang lebih tua, adalah nilai plus yang jarang ada pada pribadi gadis lain. Katanya, ketika anak muda yang lain jauh lebih mengelu-elukan negara barat dengan segala aspek tetek bengeknya termasuk bahasa, aku justru tetap menjunjung tinggi bahasa nenek moyang. Bahkan Mbak Ipah bilang aku mungkin lebih cocok tinggal di Kasepuhan sebagai gadis Keraton.
Kutatap lagi permukaan cermin itu. Kali ini tepat pada manik matanya dengan bulu mata tipis. Merasa hati agak miris mengingat sanjungan dari Mbak Ipah. Aku akui itu bukan pujian yang pertama kali aku dapatkan. Selama aku bernapas hampir dua puluh tahun ini, ada sekitar sekian puluh orang memuji hal yang sama. Bukan hanya pada diriku, melainkan juga pada seluruh keluargaku.
Dan bukan fakta itu yang membuatku merasa demikian. Rasanya sungguh ironis mendapati aku dengan pujian itu tatkala pribadiku yang sebenar-benarnya sangat bertolak belakang.
Aku putri bungsu. Ayahku, meski hanya orang biasa, tetapi mewarisi darah santri. Pun ibuku. Maka seluruh keluarga, bukan hanya terdiri dari anak, menantu, dan cucu, melainkan terdiri pula paman, bibi, uwak, serta para sepupu, saling terkoneksi dengan satu ajaran bahasa. Ketika di luar mereka menggunakan bahasa umum yang lazimnya berlaku di masyarakat, tetap saja mereka akan menggunakan bahasa ibu untuk berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga.
Dengan fakta itu aku menyadari pendapat dari masyarakat perihal keluarga. Mereka masih menganggap setiap individu dari nasabnya.
Aku akhirnya berpaling setelah beberapa menit. Beralih pada tempat tidur dan mulai meringkuk di atasnya sembari memainkan ponsel. Waktu Isya baru saja lewat, jadi aku bisa sedikit bersantai sekarang. Aku pun sadar, dengan demikian aku makin tidak bisa mengalihkan pikiran dari percakapan tadi siang.
Mbak Ipah asli orang sini. Tetapi kini ia menetap di sebuah rumah dekat Mushallah di depan rumahku. Rumah milik Pak Ridwan yang dikontrak suami Mbak Ipah sejak beberapa tahun terakhir.
Aku jadi penasaran. Mbak Ipah berkomentar demikian berarti dia telah melihat akun facebookku, kan? Dengan cepat aku membuka laman itu setelah memastikan ponselku terhubung internet.
Tetapi lagi-lagi aku kecewa. Dari seratus lebih daftar permintaan pertemanan, tidak ada satu pun akun yang mengindikasikan pemilik bernama Mbak Ipah. Semuanya hanya akun asing.
Aku jadi gemas sendiri. Bagaimana mungkin Mbak Ipah menyambangi akun facebookku tanpa berniat mengajukan pertemanan dengan akunku? Hanya untuk menilaiku begitu seperti siang tadi?
Pada halaman notifikasi-lah kejutan yang sebenarnya telah menanti. Di salah satu pemberitahuan mengenai status terbaruku yang dilike banyak akun lain itu, aku menumpukan perhatian lebih.
Akun bernick name Syamsul Alif dan lima puluh satu akun lainnya melike postingan terbaruku.
Aku sampai melongo beberapa jenak melihat informasi itu. Merasa asing segaligus familier. Asing karena setahuku, aku tidak pernah berteman atau pun mengenal orang lain dengan nama itu, baik di kehidupan nyata atau pun di dunia maya. Tapi juga merasa familier karena nama itulah yang kini tengah diperbincangkan warga setempat.Penasaran, aku mengklik akun itu. Dengan alasan sekadar mencari tahu atau sebuah kepastian tentang si pemilik. Foto profilnya hanyalah kartun muslim berpeci yang banyak beredar di internet. Mungin si pemilik juga mencomotnya dari sana.
Pertama-tama aku memastikan bahwa akun itu memang belum berteman denganku. Kedua, aku melihat tentangnya. Lalu mengobrak abrik galeri fotonya. Dan... ya! Aku menemukan beberapa foto asli si pemilik. Persis seperti sosok yang sering aku jumpai belakangan ini di sekitar tempat tinggalku.
Aku jadi mikir, barangkali Mbak Ipah telah membajak akun facebook anak tirinya sendiri. Dan aku yakin inilah jawaban atas pertanyaanku, mengapa Mbak Ipah bisa tahu semua yang ada di akun facebookku tanpa ada akunnya yang mencoba meminta pertemanan dengan akunku. Ya. Mungkin begitu.
Tapi lagi-lagi persepsiku salah. Penjelajahanku berakhir pada menilik semua jenis postingan akun itu. Aku mengabaikan fakta bahwa aku adalah stalker akut sejak SMP dulu. Jadi, aku selalu merasa belum puas kalau belum mengecek secara keseluruhan.
Dan benar saja. Aku menemukan apa yang aku cari--mungkin? Pada sebuah postingan bertanggal empat belas Agustus kemarin, tertulis sederet huruf yang membentuk kalimat ajaib. Ajaib di sini bisa didefinisikan bahwa: hanya dengan sekali ucap, membuat aku merasa kehilangan pijakan dalam sekejap.🌞
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAMS
RomanceBagaimana sikapmu menghadapi dunia, ketika kau tahu bahwa kau lahir dari keluarga agamis, sedangkan sejak beranjak dewasa kau sudah mulai menjauhi ajaran-ajaran keluarga? Bagaimana perasaanmu ketika mendengar sebuah suara yang-rasanya begitu m...