LIMA

104K 4.2K 249
                                    

Bagi Nara di panggil ke ruang dosen itu musibah bagi dirinya, saat semester awal dulu. Gadis dengan kuncir kuda ini selalu menjadi asisten dosen untuk membawa semua tugas mahasiswa di kelasnya.

"Pak, saya di sini buat apa, ya?" Nara sudah duduk di kursi sejak dua puluh menit yang lalu, gadis ini sudah menatap lelaki di depannya ini dengan wajah masam. Awalnya Nara pikir kalau Aska akan menjelaskan tentang statusnya. Tapi, lelaki itu malah asyik menatap juga mencoret lembaran kertas di hadapannya.

"Nanti, ya, Ra. Saya sebentar lagi selesai," jawab lelaki itu. Matanya masih fokus ke lembaran kertas. Nara mengembuskan napas panjang, buat apa ada di sini kalau cuma jadi pajangan.

"Tapi, Pak—"

"Kamu nerima perjodohannya ini, kan?" Aska sudah berjalan ke arah Nara sembari melipat lengan bajunya hingga siku. Duduk berhadapan dengan di halangi meja berbentuk kotak di depan mereka.

Nara terdiam, ia menundukan wajah. Tatapan Aska membuat gadis ini sedikit ketakutan. "Sejujurnya, saya enggak mau." Ia memberanikan diri berkata jujur.

"Status dan anak saya?" Aska kembali bertanya, Nara mengangguk membuat lelaki di depannya ini memejamkan matanya.

Aska tersenyum lalu berdiri dan menghampiri Nara, lelaki itu mengulurkan tangannya mengajak gadis itu untuk makan siang bersama. Gadis ini membulatkan matanya kemudian menggeleng. Bisa mati dia kalau makan siang makan bersama idola mahasiswa di fakultasnya.

"Enggak, Pak. Terima kasih." Nara berkata lalu berjalan cepat melewati Aska. Lelaki itu segera menarik lengan Nara lalu mendorongnya ke dinding.

Nara semakin panik, tubuh mereka cukup dekat. "Kamu kenapa, sih, Ra?"

Bunda, Ara takut.

Aska mengangkat tangan kanannya dengan tangan kiri berada di samping tubuh Nara. Menyentuh pipi gadis di depannya ia berkata lelah dengan semuanya. "Kenapa kita harus gini?" tanya Aska pelan.

Nara memberanikan diri menatap lelaki di depannya ini, "Karena saya enggak mau nikah sama Bapak."

"Tapi saya mau," ujar Aska sebelum memajukan wajahnya. Lelaki ini memegang dagu Nara lalu mengecupnya. "Saya rindu kamu, Ra."

Nara menatap ke arah Aska dengan mata mengerjap. Nara pikir dosennya ini tidak akan melakukan lebih dari sekedar kecupan. "Ra, buka." Gadis ini merapatkan bibirnya sembari mendorong tubuh Aska. Berharap lelaki itu melepas ciuman mereka.

Nara menggeleng, menola permintaan dosen ini. Aska menggeram lalu menggigit bibir bagian bawah bibir gadis ini lalu memperdalam ciuman mereka.

Bagaimana bisa seorang dosen memiliki perilaku seperti lelaki di depannya ini. "First kiss gue!" ia menyentuh bibirnya.

"Bukan yang pertama," jawab Aska santai. Lalu menatap pintu di sisi sebelah kirinya, menyuruh gadis itu segera keluar.

Jika tidak teringat akan pesan Lisa, sudah di pastikan Aska akan mendapatkan serangan dari buku-buku tangan Nara. Gadis itu menarik napas panjang lalu berjalan keluar. Rasanya marah juga kecewa, apa ia harus tetap menjalankan perjodohan ini.

Bahkan pertemuan kedua saja sudah seperti ini, bagaimana jika pertemuan ketiga dan seterusnya. "Dosen mesum!" ucapnya kesal.

Agatha menatap wajah Nara juga mendengar jelas ucapan gadis di sampingnya ini. Ia bertanya lalu di jawab gelengan kepala oleh Nara. Ia tidak mungkin mengatakan jika Aska telah mengambil ciuman pertamanya. Memangnya siapa yang pecaya akan cerita seperti itu.

+6287290900089

Maafkan saya, Ra.

Nara membaca pesan itu dengan dahi berkerut, di tatapnya foto profil dengan gambar lelaki juga seorang anak kecil. "Pak Aska," gumamnya. Sejak kapan lelaki itu mengetahui nomor teleponnya.

Nara menggeram, menyadari jika ini ulah Lisa. Wanita itu selalu bisa membuatnya darah tinggi. Memilih mengabaikanya, Nara mengunci ponselnya berniat menaruh kembali ponselnya di tas ransel.

+6287290900089

Kamu marah? Tapi tadi kamu menikmati.

Nara membulatkan kedua matanya membaca pesan dari Aska. Wajahnya memerah, memang ia sedikit menikmatinya, tapi, bolehkah ia memarahi lelaki itu untuk tidak mengirimi pesan seperti itu.

Nara bodoh. Harusnya lo nolak atau nampar Aska.

Agatha menatap layar ponsel sekilas, tetapi langsung di tutup oleh Nara. Gadis itu melengkungkan senyumnya lalu menyentuh dagu sejenak. "Tha, rasanya ciuman gimana?" bisik Nara cukup pelan.

"Maksudnya gimana?" kedua alis Agatha hampir menyatu. Pertanyaan acak dari sahabatnya ini membuat otaknya kosong.

Nara memejamkan matanya sembari menarik napas, ia mengulangi pertanya sambil menyentuh bibir. Bibir Agatha melengkung dengan kedua alis bergerak ke atas ke bawah, gadis ini merangkul bahu Nara dan bertanya, "Kenapa, mau nyoba?"

Nara menggeleng, ia berkata jika ciuman pertamanya hanya boleh di ambil oleh suaminya nanti. Menjaga aset tubuh adalah moto hidupnya. "Kirain mau nyoba. Anyways, ciuman Pak Aska katanya luar biasa."

Iya, aku tahu.

"Baru katanya, kan?" Nara memutar bola matanya. Menatap jam di pergelangan tangan, tumben sekali dosen hari ini telat datang.

"Makanya, Ra, rasain sana. Lo kan calon istrinya." Agatha berkata semangat. Tidak mungkinkan dirinya yang merasakan bibir Aska.

"Apaan, sih!" Nara kesal. Mau dia mencoba dengan Aska atau bukan, itu urusannya. Lagipula rasa bibir Aska ... Nara memejamkan mata sembari mengepalkan tangan. Sial! Mengingat itu membuatnya marah dengan dirinya sendiri.

Bisa-bisanya ia menikmati sapuan bibir Aska di bibirnya.

***

Pulang kuliah lebih cepat dari biasa sungguh hal luar biasa yang selalu Nara juga Agatha sukai. Mereka bisa pergi ke mal, entah hanya sekedar berkeliling atau meminum kopi. Terkadang keduanya bermain timezone untuk menghilangkan rasa bosan dan sakit kepala tentang kuliah.

"Bucin!" Agatha menatap layar ponsel yang menujukan pesan dari seseorang.

"Ra, gue laper," keluh Agatha menyentuh perutnya. Bermain pump it up membuatnya menguras tenaga. Nara mengangguk, sejak dua menit yang lalu cacing di perutnya sudah berdemo.

Segera, kedua gadis ini menuju makan cepat saji, memesan ayam goreng, kentang juga es krim. Aroma ayam sudah membuat keduanya semakin lapar. "Enggak ada kopi lho, Ra." Agatha memperingati sebelum sahabatnya ini memesan es kopi.

"Enggak enak banget mulut gue, kalo enggak minum kopi, Tha," rajuk Nara mengedipkan matanya berulang kali.

Agatha mencebik lalu memesan es lemon untuk sahabatnya, sedangkan untuknya minuman bersoda. Nara pasrah, akhir-akhir ini Agatha selalu melarangnya meminum kopi, masa halnya seperti seseorang yang tidak ia kenal, mengiriminya pesan setiap pagi. Mengingatkan untuk tidak meminum kopi setiap hari.

Nara terdiam, ia mengecek pesan terakhir dari orang itu. "Sebulan lalu," ucapnya menatap tanggal di layar percakapan.

Orang yang Nara namai 'tukang kopi' itu sudah tidak menghubungi dan membuatnya senang. Tidak ada lagi teror setiap pagi.

+6287290900089

Di mana? Anak saya mau ketemu kamu.

I love you! [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang