EMPAT

109K 4.3K 37
                                        

Selamat membaca, janga lupa vote, komen, dan bagikan ke teman kalian.

"Naik angkot lagi" Agthat heran dengan sahabatnya ini. Setahunya Nara memiliki mobil, tapi, kenapa lebih suka menaiki kendaarn umum. Gadis ini tekekeh lalu merangkul bahu Agatha lalu mengatakan jika ia di antara temannya.

Dia tidak bohong, kan? Aska memang teman ... dari ibunya.

Agatha mengangguk lalu meminta Nara untuk menemaninya ke perpustakaan sebelum ke kelas, ada buku yang ingin ia pinjam.

"Beli, Tha. Kan udah gue bilang." Nara memutar bola matanya saat mendengar penjelasan sahabatnya ini. Katanya meminjam lebih bagus daripada membeli.

"Lo udah makan?" mata Agatha memicing. Nara mengangguk lalu berkata jika ia sudah makan pasta juga kopi. Gadis disebelahnya ini menjewer telinga Nara sambil berkata jika ia cukup kesal mendengar atau bahkan melihat sahabatnyan ini minum kopi saat pagi.

Nara mengedikan bahunya, ia saja tidak tahu awal mula kenapa suka minum kopi saat pagi hari.

Nara berjalan dengan tatapan mata ke bawah, "Tha, lo gak akan marah, kan, ya sama gue..." ucapan Nara menggantung. Ia ragu untuk mengatakan hal ini. Bahkan ia sudah bisa membayangkan perkataan dari bibir Agatha.

Agatha menghentikan langkah Nara, ia sudah berdiri di depan gadis itu dengan memicingkan mata. Pikirannya sudah jelek, "Maag lo kambuh atau lo udah makin parah?" tanya Agatha memberondong.

Nara memukul lengan sahabatnya lalu berkata jika bukan hal itu yang ingin ia sampaikan. Nara bimbang, sejenak ia berpikir untuk tidak memberitahu akan hal ini. Tapi, rasanya aneh kalau ia memendam semuanya sendiri.

"Pulang kuliah deh, ya, ngeri dosen masuk." Nara menarik lengan Agatha menuju kelas, keduanya sudah berlari saat melihat dosen berada tak jauh di belakang mereka.

Nara memilin kedua tangannya di depan Agatha, sedikit ragu akan hal ini. Gadis ini takut jika sahabatnya mengatainya gila, apalagi lelaki yang dijodohkan dengannya adalah dosen mereka.

Menatap sebal, akhirnya Agatha memulai berbicara, gadis di depannya ini membuat ia penasaran tentang ucapan yang akan di berikan oleh sahabatnya. "Jadi?"

"Gue, di jodohin sama..." Nara menghentikan ucapannya, menatap wajah Agatha sejenak untuk memastikan jika gadis itu telah siap. Sedangkan Agatha sudah menatap antusias ke arah gadis itu. Awalnya ia pikir akan mendapat berita tentang sakit yang Nara derita.

"Lo nerima?" Agatha berseru senang, entah kenapa dirinya bahagia mendengar jika sahabatnya akan menikah.

Nara mengangguk samar, gadis ini menarik napas panjang lalu meminta Agatha untuk tidak membencinya jika ia mengatakan tentang sosok yang menjadi calon suaminya itu. Sahabatnya ini mengangguk sembari memberikan kedua jari ke arah Nara.

"Sama Pak Aska, dosen kita," ucap Nara pelan, ia semakin memilin kedua tangannya, tatkala tidak ada jawaban apapun dari gadis di depannya ini.

"Thank you," kata Agatha senang. Gadis itu memeluk sahabatnya cukup erat. Nara mengerutkan dahinya mendengar ucapan dari Agatha. Dia enggak salah dengar, kan.

"Lho, kok Thank you!" Nara melepas pelukan gadis itu. Agatha terkekeh pelan dan berkata jika ia bahagia akhirnya sahabatnya menerima perjodohan ini.

Nara diam, lalu teringat akan sesuatu, gadis ini bertanya tentang perasaan Agatha terhadap calon suaminya itu. Agatha mengerutkan dahi, tidak mengerti akan pertanyaan dari gadis di depannya ini. Memangnya ada apa dengan dirinya juga Aska.

Nara geram menunggu jawaban dari Agatha, berkata jika sejak pertemuan pertama sahabatnya ini sudah menyukai sosok dosen itu. "Ngaco!" sahut Agatha sambil memukul bahu gadis di depannya ini. Ya, wajar dong kalau ia menyukai Aska, karena memang lelaki itu cukup tampan lagi pula siapa yang tidak menyukainya. Walaupun gosip yang bertebaran di luar sana cukup mengerikan.

"Tapi kemarin..."

"Ya ... dia ganteng, pinter juga. Siapa yang enggak suka," sahut Agatha.

"Gue sih enggak," ujar Nara, baru pertama kali berbicara dengan lelaki itu saja sudah membuatnya sebal.

"Tapi, Tha ..." Nara menggantung ucapanya. "Pak Aska udah punya anak," lanjutnya.

Agatha tertawa sembari mengibaskan tangannya kehadapan Nara, tidak mungkin orang tuanya menjodohkan dengan lelaki yang sudah memiliki istri juga anak. Nara memberenggut, gadis ini berdecak lalu berkata jika ia sedang tidak berbohong.

"Enggak mungkin nyokap ngejodohin lo sama Pak Aska, kalau udah punya anak-istri, lah, Ra." Agatha berucap seraya menatap wajah sahabatnya itu.

"Punya anak, Tha, bukan istri." Nara menggeram, kapan dirinya mengatakan jika Aska memiliki istri.

Agatha masih tertawa, gadis ini mengusap air mata kemudian berkata jika tidak mungkin Aska memiliki anak tanpa seorang istri. Sangat jarang di jaman seperti sekarang mengadopsi anak dan merawatnya seorang diri.

Lagi, Nara kesal dengan gadis itu yang tengah mengejeknya. Harusnya Agatha memberikan solusi tentang perjodohannya ini.

"Udah tanya sama nyokap?" Nara menggeleng, "Tanya sama Pak Aska aja kalo gitu." Agatha memberi saran dan langsung di balas dengan lambaian tangan. Tidak mau bertanya lagi tentang hal itu, ia masih ingat perilaku Aska saat di mobil tadi.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. "Duda kali, Ra," ujar Agatha setelah sekian lama menutup bibirnya. "Enggak apa, sih, Ra kalo beneran Duda, asal bukan suami orang aja."

Nara mendelik, tubuhnya bergidik ngeri membayangkan status lelaki itu. Duda mati masih bisa ia toleransi, tapi kalau duda hidup. Bisa perang dunia dengan mantannya kelak. "Kalo duda hidup gimana? maksud gue duda karena cerai," kata Nara.

Nara belum siap mengurus seorang anak di usianya yang masih terbilang muda. Ia masih mau menggapai cita-citanya, memliki pekerjaan yang baik, menonton konser, juga berkeliling Indonesia.

"Kalo emang jodoh mau gimana, lagi?" Agatha tersenyum, berstatus duda bukan masalah jika sudah tidak ada ikatan dengan masa lalu.

"Terus anaknya masa manggil gue, Bunda," ucap Nara sebal. Gadis ini memajukan bibirnya. Mengingat panggilan dari anak lelaki itu. Memang wajah Nara terlihat tua, umurnya saja masih awal dua puluh. Dan lagi Nara rajin perawatan walaupun sebulan sekali.

Nara menatap ke atas, mengingat sejenak pertemuannya dengan anak lelaki di supermarket kemarin. Wajah Raffi cukup mirip depan anak yang ia tabrak di supermarket. Tuhan, kebetulan macam apa ini?

"Enggak apa kali, Ra, latihan dulu lah." Agatha mengedipkan matanya berulang kali. Akan tetapi Nara meninggalkannya seorang diri. Lebih baik ia pulang segera dan bertanya pada Lisa tentang status lelaki itu dan ia berharap jawabannya bisa mmebuatnya puas.

Agatha sudah berteriak memanggil gadis itu sembari menyampirkan tas di bahu, ia menyusul sahabatnya dengan langkah lebar. Gadis ini pun menarik tas Nara dan memintanya untuk berhenti, tetapi Nara mengabaikannya. Berbicara dengan Agatha malah membuatnya semakin sakit kepala. Tidak ada yang mengerti dirinya.

"Maaf, Ra, gue cuma mau lo bahagia, dan mungkin menikah dengan Pak Aska jalan salah satunya." Agatha sudah berucap, tidak salah, bukan, ia berkata seperti itu.

Langkah kaki Nara berhenti dan membuat Agatha menabrak punggung gadis itu. "Bahagia gue, ya gue yang bikin, bukan karena nikah sama—" gadis ini menatap ke sekitar. Takut kalau ada yang mendengar pembicarannya.

Agatha sudah mengusap keningnya kemudian mendumel ke arah gadis di depannya ini, "Terus mau gimana, mau lo tolak, terus nyokap gimana?"

Menolak bertemu saja sudah membuat rasa bersalah menghantui dirinya, bagaimana jika ia membatalkan perjodohan ini. Bagi Nara, Lisa adalah wanita terhebat yang ia kenal dalam hidupnya.

Nara mengedikkan bahunya, belum tahu keputusan apa yang akan ia lakukan nanti. Untuk saat ini yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya memberitahu Aska agar mereka tida melanjutkan perjodohan ini.

Tanpa mereka sadari, di ujung lorong sudah berdiri seseorang yang melihat interaksi keduanya sejak dua puluh menit yang lalu. "Aku kangen kamu yang dulu, Ra."

I love you! [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang