[3] Sebuah Salam

3.5K 376 8
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.


*****

Biasanya, kata-kata di otaknya bisa tertuang rapi saat ditulis. Biasanya, diksi-diksi unik bisa mengalir begitu saja. Biasanya, kalimat-kalimat bisa tersusun indah. Tetapi, pikiran gadis yang duduk di bangku kelas sejak jam 5.45 itu tidak bisa fokus. Matanya tidak bisa berhenti untuk melirik bangku di pojok belakang. Bukan bangkunya yang menarik, tetapi seseorang yang duduk di situ. Ah, bukan menarik, sih. Tetapi ... menyebalkan. Sangat menyebalkan!

Bersamaan dengan itu, suara pintu berderit membuatnya nyaris terlonjak. Pulpen di tangannya terjatuh begitu saja di bawah meja guru. Niatnya mengambil benda itu terurungkan saat melihat siluet seseorang di depannya. Ia menahan diri untuk tidak mendongak. Ia yakin seratus persen siapa pemilik siluet itu. Tanpa permisi, ia bergegas keluar kelas. Wajar saja, Hanna tak ingin berada di kelas berdua dengan lelaki itu.

Pulpen itu diletakkan di meja pemilik. Yohan--seseorang yang baru saja datang--kini berjalan menuju bangkunya. Menaruh tas, duduk, lalu membuka buku novel bertema misteri yang semenjak turun motor digenggamnya.

Ada dua hal yang sama di antara mereka berdua. Yaitu, sama-sama menyukai novel. Satunya penulis dan pembaca, sedangkan satunya lagi pembaca saja. Namun, kalau Hanna penyuka genre religi, Yohan adalah penyuka genre misteri.

Beberapa menit Yohan larut dalam keasyikannya membaca novel, hingga bel masuk yang ada tepat di depan kelasnya berbunyi keras. Ditutupnya buku itu, diamatinya pintu. Selang beberapa detik, yang dinanti tiba juga. Gadis itu muncul-membawa minuman-tanpa memandangnya. Wajar, dia adalah gadis yang menjaga pandangan. Dia pasti menunduk saat berpapasan dengan lawan jenis.

"Teman-teman, Bu Fina masih ada keperluan. Katanya, disuruh mengerjakan paket matematika halaman 77 beserta pembahasannya. Nanti, sebelum istirahat dikumpulkan." Sekretaris kelas bernama Nina itu berkata saat semua temannya sudah masuk kelas.

"Bu Fina doang? Kenapa yang lain enggak?" tanya murid bersama Dipta, entah kepada siapa.

"Harusnya tiap hari kayak gini," tambah Kevin--teman sebangku Dipta.

"Itu sih, mau lo, Vin." Yohan menimpali. Kevin hanya terkekeh.

"Eh, gue kemarin liat lo di perumahannya cewek itu. Ngapain?" tanya Dipta, iseng. Dagunya menunjuk Hanna yang tengah duduk. Ia memang tinggal di daerah yang sama dengan gadis itu.

Yohan terdiam, memandang seseorang yang dimaksud--tengah duduk di bangku tepat depan meja guru--kini melirik ke arahnya. Gadis itu pasti mendengar pertanyaan Dipta. Tapi, segera dia alihkan dengan meminum air yang baru saja dibelinya.

"Ooh, Yohan lagi-adhhh!" Ucapan Ahkam terpotong karena kakinya diinjak sekeras-kerasnya oleh Yohan.

"Kapan emang?" tanya Yohan, mengalihkan kesakitan teman sebangkunya itu.

"Kemareen. Udah dibilang, juga. Ngapain? Ada apakah gerangan?"

Yohan berdecak. "Kepo."

Dipta terkekeh. "Lo minta restu?" tanyanya, ngawur.

Sontak Hanna tersedak. Gadis itu menutup mulut dengan cepat, lalu berjalan keluar dengan terburu-buru.

Dipta memandangnya heran. "Kenapa, Han?"

Hanna menggeleng singkat, masih dengan menutup mulutnya.

"Aneh," gumam Dipta saat gadis itu telah menutup pintu kelas.

"Apanya?" sahut Yohan.

"Hah?"

"Apanya yang aneh?"

"Dia. Jarang ngomong."

Yohan tak menyahut, kembali menulis tugas matematikanya.

"Mau sama temen, mau sama sepupu sendiri, cuek terus." Dipta menambahkan.

*****

Salah satu kebiasaan Hanna sepulang sekolah adalah menunggu parkiran sepi.

"Hanna, duluan!" pamit Nina.

"Oke." Hanna melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Hati-hati loh, ya." Nina berkata setengah berbisik, membuat Hanna mengernyit heran. Matanya mengikuti arah pandang Nina, dan yang tak ingin dilihatnya sejak dulu kini tengah duduk di pojok belakang. Lelaki itu tersenyum saat membaca bukunya.

Hanna tak menjawab, hanya memandang Nina dengan kesal.

"Assalamualaikum!" salam Nina seraya melangkah keluar.

"Waalaikumsalam ...."

"Waalaikumsalam ...."

Langkah Nina terhenti, begitupun Hanna yang tengah menulis lanjutan novelnya. Bukan hanya Hanna yang menjawab salamnya. Kedua gadis itu sontak memandangi Yohan---lelaki yang dimaksud Nina atas pernyataannya tadi kepada Hanna.

Yohan yang tengah santai membaca buku, kini beralih menatap mereka berdua yang tengah memandangnya aneh. "Kenapa?"

Hanna diam, namun Nina bersuara. "Kenapa jawab salamku?"

"Kan, salam wajib dijawab."

*****

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang