[5] Sebuah Ajakan

3K 322 7
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Sore itu, Hanna berjalan pulang setelah membeli snack ringan yang biasa ia makan saat belajar di malam hari. Dengan santainya, gadis berjilbab tosca itu memilih istirahat sejenak di kursi tepi jalan yang tak terlalu ramai, namun masih ada yang berlalu-lalang.

Sembari meninum minuman yang dibeli di toko tadi, ia memperhatikan jalan lengang di hadapannya. Beberapa kali keningnya mengernyit. Oh, jangan salah. Hanna hanya tengah berimajinasi mengenai adegan yang akan ditulis dalam ceritanya nanti. Bahkan, ia bergumam sendiri.

Ketenangan itu harusnya bertahan lama  kalau saja suara seseorang dari samping tak membuatnya terkejut. Tak pelak membuat Hanna tersedak karena saat itu sedotan masih berada di mulutnya.

"Uhuk! Uhuk!"

Hanna memegangi area lehernya yang terasa sakit. Matanya berkaca-kaca karena batuk yang keras dan tak kunjung berhenti. Kepalanya terangkat menghadap samping, tepat di mana tersangka itu berdiri.

"Ngapain kamu di sini?!" tanyanya jengkel. "Dateng-dateng cuma buat ngagetin aja."

Seseorang yang tak lain adalah Arjuna itu terkekeh. "Maaf," ucapnya pelan. "Ini minum lagi, biar nggak batuk." Yohan mengarahkan sedotan itu ke mulut Hanna, dan gadis itu tidak menolak. Tenggorokannya memang sakit sekarang.

"Enggak ada niat ngagetin, cuma nyapa doang. Masih sakit, ya?" Yohan merendahkan wajahnya, yang otomatis membuat Hanna menahan napas.

Hanna yang merasa malu lantas mengubah ekspresi secepat mungkin, kembali ke Hanna yang cuek. Gadis itu berdiri, lalu meraih barang belanjaannya dan berjalan pulang.

"Han! Pengen ke rumah kamu, padahal."

Langkah Syifa terhenti. Apa tadi katanya?

Hanna berbalik dan menatap Yoha  dengan raut penasaran. "Mau ngapain?"

"Minta restu. Hehe."

"Mau aku lempar telur ini, ya?" Hanna memperlihatkan telur ayam yang ada di dalam plastik transparan barang belanjaannya.

"Boleh, kan?"

"Ih, mau ngapaiiin?"

"Ada pokoknya."

"Awas aja kalo macem-macem kayak dulu." Hanna memperingati dengan telunjuk terangkat.

Yohan mendekat sambil mengembangkan senyum malu. Tangannya mengisyaratkan Hanna agar berbalik dan melanjutkan perjalanan pulang. Pemuda itu mengekor di belakang si gadis.

*****

"Assalamualaikum, Mama!" salam Hanna dengan keras, lupa kalau temannya berada di belakangnya.

Tersadar akan hal itu, Hanna menutup mulut, lalu membukanya lagi. Biarlah, hanya Yohan yang ada di sini. Lagipula, di sekolah ia masih bisa berlagak cuek seperti biasanya.

"Mama ada yang nyariin, nih!"

Hanna menghadap belakang, masih dengan raut cueknya, dia menyuruh Yohan duduk. "Tungguin aja. Aku mau ke kamar."

"Nggak balik lagi?"

"Enggak, lah. Ngapain, coba?"

"Sini dulu bentar." Yohan menepuk sofa di sampingnya, membuat satu alis Hanna naik dan tatapan tajamnya keluar. "Ngapain?!"

"Situ, maksudnya di situ." Yohan terkejut dengan tatapan dan bentakan gadis itu, lalu ia meringis.

"Nggak. Bicara aja sama Mama kalo emang perlunya sana Mama."

"Apa sih ini? Kok ribut-ribut kedengerannya?" Mama baru saja muncul.

"Bukan kedengerannya lagi." Hanna beranjak pergi. "Itu mau ngomong," katanya sambil menunjuk Yohan.

"Sama kamu juga."

Ucapan Yohan membuat Hanna terdiam beberapa saat. Ia jadi teringat suatu malam beberapa hari yang lalu. Ia tak ingin Yohan berkata yang tidak-tidak lagi. Biar bagaimanapun, Hanna tak suka dengan sikap seperti itu.

Akhirnya, gadis itu berbalik, lalu berniat duduk di samping mamanya. "Kenapa?" tanyanya to the point.

"Ih, Hanna yang cantik, buatin minum dulu temennya yang ganteng ini." Mama Hanna mencegah anaknya duduk.

Hanna memanyunkan bibirnya kesal.

"Nggak usah, Tante. Nggak lama kok di sini. Cuma mau bilang kalo ..., kalo ... boleh nggak, saya ...."

"Hm?" Mama Hanna terlihat tidak sabaran.

"Boleh nggak kalo ... Hanna saya minta temenin ke acara lomba besok?"

"Hah?" Hanna terkejut. Itu pasti.

Bagaimana tidak? Selama ini, pertemanannya dengan Yohan hanya sebatas teman sekelas yang jarang menyapa, atau bahkan saat Yohan menyapa, Hannanya yang tak acuh saking tak sukanya ia menghadapi kisah semacam itu saat SMA. Dan sekarang, dengan percaya dirinya si Yohan itu memintanya menemaninya?

"Enggak, enggak, nggak bisa." Hanna tampak panik. Masalahnya, si Mama itu orangnya tidak enakan jika dimintai bantuan. "Aku ada acara."

"Itu acara apa, Nak?" tanya Mama Hanna lembut.

"Lomba badminton, Tante. Bukan Hanna aja, sih, tapi temen sekelas banyak yang ikut support dan dateng ke lokasi. Saya ngajak Hanna karena dia jarang ikut-ikut temennya gini."

Mama Hanna melirik anaknya. Hanna meringis miris, menggaruk tengkuknya yang mendadak ingin digaruk. Memang selama ini ia lebih suka di rumah dan berimajinasi dengan kertas-kertas beserta laptop daripada ikut acara teman-temanya. Karena, ia bukan orang yang mudah bersosialisasi dan cenderung cuek saat di luar rumah.

"Oh, hari apa?"

"Minggu, Tante. Minggu—"

"Minggu aku ada acara. Ya, kan, Ma? Yang di masjid itu." Hanna mengingatkan Mamanya. Ah, bukan, hanya agar Mamanya tidak menyetujui Yohan tepatnya.

"Minggu pagi?" tanya Yohan.

Hanna terdiam, dalam hati mencoba untuk tidak memaki. Acara itu, kan, Minggu sore ....

"Boleh, kok. Kalo temennya banyak, nggak cuma berdua, Tante bolehin aja. Lagipula, Hanna itu dari dulu nggak suka keluar rumah, kayak nggak punya temen jadinya. Biar dia ikut nggak pa-pa."

Hanna melotot kecil, diremasnya tangan Mamanya, membuat si Mama heran. "Kenapa?"

Gadis itu menggeleng, maksudnya agar Mamanya menolak Yohan. Tetapi, sepertinya Mama salah tangkap. Malah tersenyum kecil dan menganggap bahwa Hanna tak sengaja ataupun tak ada maksud meremas tangannya.

Mama tolak, dong. Hanna pengen di rumah aja ....

Ingin rasanya berkata seperti itu, tapi, terburu Yohan berdiri. "Terima kasih, Tante, udah diizinin. Saya pamit dulu."

*****


Hari ke-2 UN. Matematika. Dan banyak keluhan yang membuat aku merasa bahwa di dunia ini aku nggak hidup sendirian.

Haha.

21.59
2 April 2019.

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang