[7] Perlahan Berkata

2.6K 292 7
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Suasana tenang di tempat makan sederhana yang dipilih Dipta membuat Hanna sedikit tenang. Paling tidak, idenya untuk melanjutkan tulisan-tulisannya bisa muncul sekarang--meski kadang ada yang muncul tak tahu tempat. Hanna meneguk minuman di depannya sembari menunggu Dipta yang izin ke belakang--katanya.

"Hei!"

Hanna sedikit tersentak, hampir saja tersedak saat tiba-tiba Dipta hadir di depannya dengan membawa nampan berisi makanan, nasi dan lauk--random.

Gadis itu mengalihkan pandangan, dalam hati beristigfar sebanyak mungkin agar sebisa mungkin tidak mengumpati sepupunya ini sekarang juga. Sedangkan Dipta, pemuda itu mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut, mengunyahnya sambil sesekali memandang area depan tempat makan itu.

"Mau bicarain apa?"

"Eum ...." Dipta menatap lurus Hanna. "Itu, lo udah punya pacar?"

Hanna mengerjap, heran, tentu saja. "Hah?"

"Maksudnya, lo pernah suka sama cowok nggak?"

"Ya pernah lah." Hanna menyahut pelan, agak ragu dengan jawabannya sendiri. Tapi, yang ditanyakan itu 'suka', bukan 'cinta'. Ia kembali tenang.

"Siapa?"

Hanna berdecak, lalu menyandarkan diri sambil memandang lalu lalang orang lewat di sekitar mereka.

"Kok diem?"

Kening Hanna mengernyit. Ia sebenarnya pernah mempersiapkan jawaban jika suatu saat ada yang menanyakan hal tidak jelas seperti ini, tapi ia ... kadang lupa dengan sesuatu yang sudah ia persiapkan.

"Privasi."

Dipta terkekeh, lalu menyeruput minumannya. Mengambil tisu dan mengusap area bibirnya, pemuda itu memajukan kursi, membuat Hanna mengalihkan pandangan. Gadis itu sulit berinteraksi sambil bertatap muka. Ia lebih suka sambil memandangi sekitar.

"Lo suka sama Yo---"

"Enggak!" potong Hanna cepat. Matanya menajam, sarat akan ketidaksetujuan yang teramat dalam. "Kenapa, sih? Aku nggak suka ya kalo dijodoh-jodohin sama temen sendiri. Kamu tau nggak? Yang kayak gitu itu bisa buat hubungan pertemanan di kelas jadi canggung! Aku nggak mau ditanya-tanya kayak gitu lagi."

Dipta tercengang. Ia tak menduga reaksi Hanna akan seperti itu. Tapi, setidaknya ia perlu bersyukur karena sepupunya itu sudah berbicara lebih dari satu kalimat.

"Dia baik."

"Nggak nanya."

"Dia ganteng."

"Visual bukan segalanya."

"Dia jago olahraga. Bukan cuma badminton aja. Dia kapten basket. Sepakbola bisa, fu---"

"Nggak nanya, Dipta. Udah, deh. Mau ngomong apa sebenernya?" Sejujurnya, Hanna ingin sekali undur diri dari tempat ini. Tapi, ia masih tak enak hati meskipun kepada seseorang yang menyebalkan seperti Dipta.

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang