sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.*****
Jika Tuhan saja sudah berbeda, bagaimana manusia ingin melanjutkan cinta?
-Anonim
*
Dulu, Yohan tidak tahu menahu kalau perempuan dilarang berduaan dengan lelaki. Makanya, ia dulu mengajak Hanna pulang bersama setelah gadis itu mengikuti kajian. Namun, hari ini tidak. Ia sekadar memastikan kalau Hanna baik-baik saja.
Diperbudak cinta? Entahlah.
"Menurut lo, gue harus gimana?" tanyanya pelan kepada Ahkam. Mereka tengah duduk di warung sederhana yang dekat dengan masjid tempat Hanna ikut kajian bersama Mamanya.
"Masuk Islam, lah. Apa lagi?" balas Ahkam santai.
Yohan berdecak. "Lo enteng kalo ngomong. Gue, susah."
"Ya, gimana, lagi? Tuhan kalian aja udah berbeda, gimana caranya bersatu?"
Pertanyaan sekaligus pernyataan itu membuat Yohan terdiam.
"Gini, ya, Han." Ahkam mulai menjelaskan, "Hanna aja, belum kenal deket sama lo, tapi sedikitnya, dia tau kalo lo beda agama sama dia. Gimana dia mau dideketin kalo nyatanya dia mikir, kalo di akhir itu kalian susah bersatu?" Jeda beberapa detik. "Ah, ngomong apa, sih, gue? Paham, nggak?" Ahkam menggaruk pelipisnya, bingung sendiri.
"Jadi, kalo kita sama, dia bakalan mau gue deketin gitu? Enggak." Yohan menggeleng. "Hanna nggak kay---"
"Iya, tau," timpal Ahkam. "Dalam Islam, nggak ada pacaran, adanya ta'aruf," lanjutnya.
Kening Yohan mengernyit. Ia pernah mendengar kata itu terkadang, tapi tidak tahu artinya. "Ta'aruf itu apa?"
"Ta'aruf itu ... singkatnya, kenalan."
"Gue udah kenal dia," sahut Yohan dengan polosnya.
Ahkam mendecak, meminum es teh manisnya, lalu kembali berbicara. "Bukan gitu, ta'aruf itu perkenalan dengan tujuan pernikahan."
"Ooh." Yohan mengangguk. "Kayak pacaran?"
"Bukaaan!" sergah Ahkam sambil melambaikan tangan ke kanan kiri. "Ta'aruf itu, pertemuannya ditemani mahrom."
"Mahrom?"
"Itu, yang nggak boleh dinikahin. Jadi kayak Hanna sama ayahnya, saudara laki-lakinya, gitu. Tapi dia anak tunggal, ya?"
"Iya. Jadi, yang nemenin ya Ayahnya langsung?" ujar Yohan menyimpulkan pemahamannya.
"Lo tertarik, Han?" tanya Ahkam---balik bertanya---setelah mengangguk. Ia rasa, Yohan sudah tahu maksud pertanyaannya.
Yohan tersenyum kecil. "Susah, Kam. Lagian, nih, ya, semua keluarga dekat gue, nggak ada yang Islam. Ada, sih, kerabat jauh. Jauh tempat tinggalnya, maksudnya."
Ahkam terdiam, mendengarkan Yohan dengan seksama. Tapi, tak lama, suara adzan terdengar.
"Adzan itu sebenernya apaan, sih?"
Ahkam tersenyum. Karena, mengingat rasa penasaran Yohan yang tiap saat kian membuncah, ia harus ekstra baik hati dalam mengambil kesempatan dan pahala besar.
"Adzan itu pemberitahuan udah waktunya shalat."
"Harus banget tiap hari, ya? Di sekolah, juga kenapa tiap hari ada adzan?"
"Iya, dong. Kan, tujuan Tuhan menciptakan manusia itu untuk beribadah. Ada ayat yang bunyinya gini: 'Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku.' Jadi, adzan itu penanda bahwa waktu beribadah shalat udah tiba."
Yohan mengernyit. Sama sekali tidak paham terhadap perkataan Ahkam.
Melihat itu, Ahkam meringis. "Sorry, sorry, paham, nggak?"
"Enggak, sama sekali enggak," sahut Yohan. "Kan, udah ada jam. Kenapa harus ada adzan?"
"Gini, ya, Han. Gue pernah baca di internet, ada yang nanya gitu ke Dokter Zakir Naik. Lo tau, kan, itu siapa?"
"Iya. Dokter dari India itu, kan?"
"Nah, iya. Itu, gimana, ya?" Ahkam segera meraih ponselnya, membuka website Islami dan memperlihatkan pada Yohan. "Gue bacain aja, ya? Takut salah kata nanti."
Yohan meminum teh manisnya sejenak, lalu mengangguk. "Gimana?"
"Dokter Zakir Naik itu menganalogikan adzan dengan bel sekolah. Gini katanya:
'Ada banyak alasan mengapa muslim melakukan adzan. Pertama, untuk memberitahu semua orang bahwa ini adalah waktunya shalat. Coba jawab, setiap orang punya jam tangan selama berlangsung ujian. Meskipun demikian, begitu sang guru membunyikan belnya, “waktu telah habis!” Jadi kamu katakan pada guru sekolahmu, “kenapa engkau membunyikan bel bahwa waktunya sudah habis? Setiap orang punya jam tangan.” Untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa waktunya telah selesai. Ke sesi selanjutnya.'
Gitu ...." Ahkam mematikan layar dan meletakkan ponselnya di meja lagi.
"Ooh." Yohan mengangguk-angguk. "Lo pernah adzan?"
"Ya, pernah."
"Kenapa nggak adzan di sekolah?"
Ahkam menyipit. "Gue seminggu sekali dijadwalin adzan di hari Jumat. Lo kali yang nggak tau, atau nggak denger suara gue waktu adzan."
"Masa? Iya, kali. Gue kalo ada Jumatan ... eh, bener, ya, namanya Jumatan?"
"Iya."
"Gue kalo waktu itu, tiduran di belakang kelas sambil baca buku."
"Pantesan."
"Tapi, gue kayaknya nggak pernah denger suara lo."
"Tapi, gue adzan," kukuh Ahkam.
"Suara lo berubah, ya, kalo adzan?"
"Ya, iya lah. Kan, dibagus-bagusin." Ahkam terkekeh. Pantas saja Juna tak mengenali suaranya.
"Ya berarti gue nggak salah."
"Iya, sih." Ahkam tersenyum kecil. Sahabatnya itu terlihat tertarik dan ingin belajar banyak tentang Islam. Ia hanya berdoa semoga kelak Juna bisa masuk Islam, meskipun keluarganya orang terpandang. Semoga saja bisa sekeluarga.
"Adzan itu panggilan buat shalat." Ahkam menunjuk masjid yang tengah melaksanakan shalat berjamaah di tempat kajian tadi. "Lo lihat, mereka pada makai mukena itu buat shalat."
"Iya, tau, shalat. Emang kalo nggak ada adzan kenapa?" Yohan masih saja penasaran.
"Adzan itu ... kalo di dunia ini udah jarang atau bahkan nggak ada yang adzan, itu bahaya. Tandanya kiamat udah dekat."
"Hm?" Yohan melebarkan pendengaran.
"Ya ... gitu. Eh, gue lupa belum shalat, nih. Ngelihat orang shalat padahal. Nanti mampir dulu, ya, di Masjid ujung sana. Kayaknya belum mulai shalatnya."
"Iya, oke."
*****
Jumat, 10 Mei 2019
09:46
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaf
EspiritualTentang Heksa yang ingin masuk ke shaf pertama sholat Jumat tapi tidak pernah bisa. ©2019 @grisvanaresha 10 Januari 2019 - 19 Januari 2020 Graphic by Graphicarea [7.9.18]