Prolog: Heksa, Hujan, dan Hari Ke-Enam

1.2K 92 22
                                    

— Taawudz dulu —

*

Gemerisik daun di luar kamar memecah lamunan. Coklat hangat di dekat tangan gadis itu menguarkan aroma favorit setelah diterpa angin sore. Di luar mendung kian menggelap. Dedauanan kecil yang rontok dari pohon besar di samping rumah terbang ke balkon samping kamarnya. Hawa dingin menusuk kulit, mungkin sebentar lagi hujan akan tu—

Tes!

Nah, dia sudah mendahului narasi, bukan?

Gerimis kecil itu mulai landas di meja kamar. Sesegera mungkin ia tutup jendelanya guna mengamankan alat tulis dari air hujan yang kian deras. Buku-buku yang semula berserakan di meja, kini tertata rapi dalam sekejap. Satu buku catatan berwarna putih bergaris hijau dengan tulisan 'Shafia', kini berada di pelukannya. Kepul uap hangat dari coklat kini perlahan menghilang. Si gadis menghabiskan minumannya dengan tatapan lurus ke luar jendela.

Hujan deras; keadaan yang selalu membuat Shafi menyelam ke masa lalu.

Hujan tak pernah datang sendirian. Ia selalu membawa teman bernama kesejukan. Ibarat hal buruk, ada yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Mungkin, kalau seseorang ada bersama Shafi saat ini, 'dia' akan teringat kalimat seperti...

“Banyak orang bilang mereka suka hujan, tapi kenapa mereka berteduh dan menghindari air hujan dengan memakai payung?”

Heksa itu terlalu rumit untuk Shafi yang suka kemudahan.

Beruntungnya, pemuda itu selalu menjawab pertanyaannya sendiri seolah tengah bermonolog padahal ada Shafi yang selalu memasang telinga baik-baik ketika di dekatnya. Dia tidak akan membiarkan Shafi bingung dengan sesuatu yang keluar dari mulutnya. Dia tahu, ketidak-pekaan yang dimiliki gadis itu tak selalu diiringi rasa penasaran dan ingin tahu akan kalimat rumitnya.

“Cinta itu nggak sesederhana kayak yang orang bilang, Shaf,” katanya dulu, saat riuh redam murid sekolah terdengar di koridor; waktu itu hujan menghalangi jalan pulang, beberapa memakai mantel dan beberapa lagi memilih mengurungkan niat dan kembali ke dalam kelas untuk menghangatkan diri. Shafi tengah bermain air di depan kelas sendirian ketika Heksa berjalan duduk di kursi koridor.

Lalu, keluarlah kalimat itu...

“Banyak orang bilang mereka suka hujan, tapi kenapa mereka berteduh dan menghindari air hujan dengan memakai payung?”

Shafi kira, itu bukan pertanyaan yang ditujukan kepadanya kalau saja beberapa detik kemudian Heksa tak bersuara, “Cinta itu nggak sesederhana yang orang bilang, Shafia.”

Shafi selalu suka kalau Heksa sudah berbicara.

“Cinta bukan hal yang mudah ditangani, mereka akan sakit kalau nanganin cinta itu secara asal-asalan. Ibaratnya hujan, kalau mereka suka akan kehadiran air dari langit itu sampai rela hujan-hujanan dan setiap hujan datang mereka mau nyentuh airnya, mereka akan sakit; itu pasti. Kadang, rasa cinta itu nggak selalu harus ditunjukkin, tapi ada. Orang-orang yang bilang mereka suka hujan, nggak perlu hujan-hujanan tiap hujan datang, nggak perlu bilang 'aku suka hujan' tiap hujan datang, tapi mereka punya perasaan senang ketika hujan itu mulai turun ke Bumi.”

Shafi tidak paham kenapa tiba-tiba Heksa berbicara tentang cinta, tetapi gadis itu paham maksudnya. Ia seperti pernah mendapatkan cerita seperti ini dari kakaknya dulu.

Semut kecil mendatangi setetes madu yang baru saja terjatuh di atas tanah. Dia mencicipinya sedikit demi sedikit dari pinggiran. Rasa manis itu membuat semut terpikat hingga berpikir, kenapa tidak sekalian masuk dan menceburkan diri agar bisa menikmati rasa manis itu lagi dan lagi? Maka berjalanlah semut itu tepat di tengah tetesan madu. Ternyata badan mungilnya malah tenggelam penuh madu. Kakinya lengket dan tentu saja tidak bisa bergerak banyak. Nasibnya malang, ia terus seperti itu hingga akhir hayatnya; mati dalam kubangan setetes madu.

Itu analogi sederhana tentang dunia dan pecinta dunia. Sebagaimana diperumpamakan dalam sebuah pepatah Arab: Tidaklah kenikmatan dunia berarti apa apa melainkan bagai setetes besar madu. Maka, siapa yang hanya mencicipinya sedikit, ia akan selamat. Namun, siapa yang menceburkan diri ke dalamnya, ia akan binasa.

Sekarang jika digunakan di kasus perkataan Heksa, maka madu itu diibaratkan cinta. Semut itu penikmatnya. Karena terlalu rakus, semut itu malah dicelakai oleh rasa cinta yang ia punya. Singkatnya, rasa cinta itu bisa membuat nyaman, tapi kalau tidak ditangani dengan benar, dia bisa membinasakan.

Shafi memang tidak suka berpikiran rumit, tapi bukan berarti ia tidak mau memikirkan hal semacam itu. Ia hanya terlihat malas, bukan benar-benar malas. Ingin rasanya bercerita perumpamaan semut dan madu itu, tetapi ia tahu ia bukan pribadi yang mudah berkata banyak kepada lawan jenis. Jadi, dari sekian banyak kalimat yang terdengar tadi, Shafi hanya bisa bertanya, “Kamu sering mikirin hal-hal kayak gitu?”

“Yang kelihatannya sederhana?”

Shafi mengangguk. “Humm.”

“Beberapa kali, kadang dipikirin kalo aku lagi luang.”

“Luang?”

Kini giliran Heksa yang mengangguk. “Iyaa.”

“Kayak kalo lagi ada Jum'atan?”

Heksa melirik sekilas ke arah si gadis. Dia tidak tahu kalau kebiasaannya di hari Jumat itu diketahui oleh Shafi. “Iya, waktu kayak gitu,” sahutnya singkat.

Dia mengendikkan bahu sesaat sebelum kemudian menyambung, “Mau ikut Jum'atan, 'kan, juga nggak dibolehin.”

Shafi tertawa dalam diam. Agak terganggu. Dari sekian banyak kalimat yang Heksa ucap, ia sangat tidak menyukai kalimat semacam itu.

[]

Rabu, 23 Juni 2021Hope y'all like this vers <3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rabu, 23 Juni 2021
Hope y'all like this vers <3

06.22

ShafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang