Bab 9B - Should I stay a life?

4.8K 534 62
                                    

NETRA keduanya bertemu pandang. Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan sejak 10 menit yang lalu. Mereka hanya bisa mengutarakan isi hati mereka melalui sebuah tatapan.

Tatapan keduanya seolah memancarkarkan kerinduan. Inilah yang mereka rasakan sebenarnya, perasaan rindu yang begitu membuncah di dalam relung hati mereka.

Persahabatan yang dulu sempat terpecah belah, akankah kembali utuh?

Keduanya berbicara dengan alam bawah sadar mereka. Nami dan juga Minyoung tidak ingin mengibaratkan persahabatan mereka seperti sebuah guci, karena itu artinya, persahabatan mereka tidak akan kembali utuh jika sudah pecah.

Nami merasa gejolak itu datang lagi. Perasaan bersalah yang beberapa hari belakangan menyelimutinya begitu menyeruak. Ingin rasanya ia berlari memeluk tubuh ringkih Minyoung dengan tangannya, berjongkok, memohon ampun pada wanita ringkih itu, akan  tetapi, ia tidak bisa. Nami justru hanya terdiam sembari meneliti setiap ekspresi yang Minyoung tunjukkan padanya. Ia tidak bisa melangkah, Nami merasa kakinya seperti dilem di atas marmer yang dipijakinya.

Apa Minyoung akan memaafkannya? Alam bawah sadarnya terus bertanya. Tubuhnya terasa bergetar dengan keringat dingin yang mulai muncul kepermukaan pori-pori kulitnya.

Nami sadar bahwa kesalahannya itu tidak termaafkan. Akan tetapi, ia sangat ingin memperbaiki kesalahannya.

Nami memejamkan matanya seolah menimang keputusannya. Nafasnya berhembus kasar. Kakinya perlahan berjalan mendekati Minyoung. Ia merasa Lututnya bergetar hebat saat ia menyeret kakinya untuk mendekati Minyoung. Nami ingin berlari—untuk memeluk tubuh itu barang sekejap saja. Tapi lagi-lagi rasa bersalah-lah yang mendominasi dalam dirinya.

Jarak mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Nami menundukkan kepalanya saat posisinya sudah dekat dengan tempat sandaran Minyoung. Ia mendudukkan tubuhnya, bersimpuh diatas marmer dingin itu, dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi. Kesalahan fatal yang pernah ia perbuat selalu berputar dalam benaknya.

“Mianhae...” Cairan asin itu seolah berlomba-lomba keluar dari ufuk matanya. Nami terus menunduk, tanpa mau menatap lawan bicaranya itu. “Aku tahu aku bersalah... tapi... ” Nami mendongakkan kepalanya menatap Minyoung. “Maafkan aku... aku sungguh meminta maaf padamu,”

“Aku memang tidak pantas menerima maaf darimu... tapi untuk kali ini, aku mohon maafkan aku... aku janji, setelah ini aku akan pergi. Aku akan bercerai dengan—”

“Nami-ya...” Suara Minyoung terdengar parau. Minyoung merasa hatinya berdesir hebat. Minyoung tahu bahwa Nami adalah wanita yang baik. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Tapi kesalahan pahaman itulah yang membuat mata Nami dibutakan oleh dendam yang tidak ada gunanya.

Minyoung tidak ingin bersikap keras kepala dengan menghakimi Nami. Biarlah Tuhan yang menentukan segalanya. Ia sudah memasrahkan dirinya pada sang pencipta. Minyoung hanya ingin menjalani kehidupannya seperti air yang mengalir. Sudah cukup Tuhan menghukum Nami selama ini. Minyoung tidak ingin menambah beban pada Nami.

Tangan Minyoung terulur untuk menyentuh helaian rambut Nami. Air mata kebahagiaan itu perlahan turun membasahi pipinya. Suasana berubah hening, hanya terdengar suara isakan tangis mereka yang seolah berlomba-lomba untuk mengetahui siapa pemenang dari perlombaan itu.

“Aku memaafkanmu,” Gumam Minyoung. Tangannya dengan teratur mengelus surai Nami dengan penuh kelembutan. “Aku sudah memaafkanmu!”

Eonni...” Nami memegang tangan dingin Minyoung dengan perasaan haru. Tidak pernah terbayangkan dalam benaknya, bahwa Minyoung akan memaafkannya semudah ini. “Terima kasih,” Nami terisak pelan. Lututnya terangkat untuk menjangkau tubuh Minyoung. Tangan Nami terulur memeluk tubuh ringkih itu dengan penuh rasa haru.

ITS HURT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang