Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau ; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). (QS. Ali Imran : 7)
"Hilya... ada tamu di depan." ibunya membuka kamar sang putri yang tengah bersiap-siap di depan cermin. Hilya merapikan jilbabnya lalu mengangguk. Dia mengambil proposal Altha, cairan pembersih make up dan kapas, lalu bergegas keluar dari kamar.
"Kenapa, Bu?"
"Ganteng banget yang di depan itu. Dia yang diceritain sama Tante kamu ngelamar kamu di pasar?"
Hilya mengangguk. Ibunya mengambil tangan Hilya, menggenggamnya erat, terlihat semringah karena untuk pertama kalinya Hilya mengundang seorang lelaki ke rumah. Semoga saja kali ini mereka berjodoh, semoga Hilya bisa cepat menikah seperti harapan kedua orangtuanya.
"Yaudah, Bu. Aku samperin dulu."
"Ibu siapin makanan sama camilan sebentar."
Hilya mengangguk lagi. Dia berdiri di depan ruang tamu. Altha langsung berdiri, menatapnya sebentar lalu mengangguk lagi kikuk.
"Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam." Hilya memperpendek jarak. "Silakan duduk, Kak."
Hilya dan Altha duduk berhadapan, dibatasi sebuah meja kaca. Hilya meletakkan proposal berjilid biru itu di meja. Dia menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Saya udah baca semua isi proposalnya. Tapi jujur aja, saya sebenernya gak minat nikah sama seseorang yang terlalu taat, saya gak suka diatur apalagi soal berpakaian yang misal harus pakai gamis ke mana-mana. Kak Altha tahu sendiri dari sekali lihat aja, kan? Saya tipe orang yang bebas."
"Untuk masalah pakaian itu hak kamu, selama menutup aurat, saya gak masalah. Walau misal kamu belum siap menutup aurat, tanggung jawab saya itu membimbing. Hidayah itu mahal, hanya Allah yang berhak memberi, tapi sebagai manusia, sebagai pria yang mencintai kamu, tugas saya hanya membantu kamu mencari."
"Poligami itu halal, tapi saya menentang."
"Insya Allah saya setia sama kamu selamanya."
"Apa jaminannya?"
Altha menatap Hilya sebentar. Dia mengeluarkan selembar kertas yang dia lipat dari saku kemudian letakkan di meja. Hilya tertarik melihat dua tanda tangan yang satunya di atas materai. Surat apa itu?
Hilya membaca surat itu dan tertegun. Dia menatap Altha tidak percaya.
"Kak Altha yakin sama ini?"
"Sulit sekali membuat kamu percaya kalau saya benar-benar mencintai kamu. Karena itu, agar kamu tidak lagi ragu, saya udah siap sama konsekuensinya." Altha mengangguk dan menatap Hilya serius. "Kalau sampai saya selingkuh, entah itu secara halal apalagi zina, semua harta yang saya punya saat ini sampai kita terikat menikah, bakalan beralih tangan jadi milik kamu sepenuhnya."
"Kalau sampai kita bercerai karena saya jatuh cinta pada wanita lain, semua harta saya menjadi hak kamu, Hilya."
Harta memang tidak akan bisa mengobati luka di hati Hilya kalau sampai dia diduakan oleh pria yang akan menjadi imamnya, tapi tanpa memiliki sepeser pun harta, hanya wanita kuat yang bisa menerima Altha.
"Semua gaji saya juga begitu kita menikah bakalan masuk ke rekening kamu. Kamu yang ngatur uang dan termasuk uang harian saya." Altha menambahkan. Pria itu terlihat sangat tegang, kedua tangannya terkepal saat keringat menetes dari pelipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Pilihan Allah
SpiritualStalker syari'ah, julukan itu yang Hilya berikan pada pria yang sudah sejak lama selalu mengawasinya. Hilya Delima tidak terganggu dengan komentar orang-orang karena tetap memilih single di usianya yang ke-23. Dia tidak mau berurusan dengan laki-lak...