Enam

3.8K 531 56
                                    

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lahi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa ; 52)

Tujuh tahun lalu...

Orangtuanya bercerai. Ayahnya berselingkuh dan ibunya pergi meninggalkan Altha bersama sang Ayah begitu saja. Satu bulan kemudian ayahnya menikah lagi.

Tidak bisa diungkapkan hidup Altha sekacau apa? Dia baru melewati ulang tahunnya yang ke tujuh belas dan harus menerima kenyataan kalau ayahnya pun lebih senang menghabiskan waktu di rumah istri barunya.

Altha sendirian. Menempati sebuah rumah besar ditemani tiga orang pekerja. Dia masih dibiayai, segala kebutuhan Altha terpenuhi. Tapi tidak ada lagi suasana hangat saat seperti orangtuanya masih lengkap. Membuat Altha tidak menghargai hidupnya sendiri, Altha merasa kekosongan yang hatinya rasakan harus dipenuhi oleh hal-hal yang bisa mengalihkan dia dari rasa sakit.

Tidak terhitung berapa kali Altha dipanggil ke ruang guru. Dia bahkan terlibat tawuran dan berakhir di kantor polisi.

Tapi tidak ada yang datang. Baik ayah atau ibunya mengabaikan Altha begitu saja. Satu-satunya yang sering menjenguk hanya pengacara ayahnya saja.

Altha tahu dia dibuang. Dia berusaha mencari perhatian. Tapi Altha tetap ditinggalkan.

"Coba ini?" Altha menerima sebuah plastik kecil dari salah satu temannya. Berisi bubuk putih yang Altha bisa tebak apa fungsinya. Serbuk yang akan mengangkat penderitaan Altha walau sejenak. Sesuatu yang bisa membuat Altha melupakan segalanya dalam waktu singkat.

Mereka berdua berada di belakang gedung sekolah. Altha menerimanya.

"Gratis. Kalau lo ketagihan, telpon gue lagi. Yang itu baru bayar." Temannya tersenyum lebar.

Altha mengangguk. Dia menyahut ragu, "Thanks."

Altha memasukkan benda itu ke saku celana abunya. Dia berjalan menuju gedung sekolah, hendak kembali ke kelas. Benda ini akan dia coba sesampainya di rumah. Bisa gawat kalau dia ketahuan pihak sekolah.

"Lo pada udah denger gosipnya? Kalau banyak kakak kelas kita yang pake obat?"

Altha berhenti melangkah. Dia tepat di depan pintu kelas X IPA. Altha menoleh, menatap lima orang gadis yang berbincang di bangku paling depan. Satu yang paling menarik perhatian, gadis berjilbab yang sedang membuka buku, bertopang dagu sambil menatap satu yang bercerita.

"Bikin takut banget gak, sih? Kalau udah sakau, kan, bahaya. Bisa bikin orang lain celaka. Kadang mereka ngelakuin segala cara buat dapetin obat itu. Entah jadi copet atau ngejambret. Kadang ampe ngebegal. Pada gak punya otak emang."

"Gue harap pihak sekolah cepet ngambil tindakan, pada di-DO aja."

"Mereka cuma berandal yang senengnya bikin masalah."

"Ngomong-ngomong soal berandal, lo tahu soal Kak Altha? Kelas XI. Yang ganteng sama tinggi itu loh. Kemarin dia baru bebas lagi dari penjara padahal udah bikin anak orang sekarat. Ganteng-ganteng bikin takut. Lo tahu gak Hil?" si rambut panjang menoleh pada yang berjilbab.

Cewek yang merasa dipanggil menggeleng tidak tahu.

"Jangan tanya soal cowok sama Hilya, dia lebih seneng baca buku, gak mau punya pacar juga."

Empat orang teman Hilya tertawa.

"Tapi sayang banget loh, Kak Altha itu katanya selalu dapet nilai bagus, katanya dia juga dulu baik banget. Gara-gara orangtuanya cerai dia jadi anak nakal. Cowok kok baperan."

Altha membulatkan matanya. Berani sekali mereka berkomentar tentang dia padahal tidak tahu banyak tentangnya.

Altha nyaris memukul pintu sebelum akhirnya Hilya membuka mulut.

"Jangan selalu komen tentang sisi sensitif orang karena setiap orang itu punya titik fatal yang gak sama." Hilya mengembuskan napas. "Kita gak tahu seberat apa beban hidupnya, seberharga apa arti keluarga buat dia. Kita juga gak tahu apa yang dia alami setelah orangtuanya pisah. Kalau yang lo bilang itu bener, soal dia yang ganteng atau pintar mendadak jadi pemberontak, itu artinya sakit yang dia alami bahkan udah gak sanggup dia atasi."

Altha bergeser ke dinding saat tahu Hilya akan melihat ke pintu.

"Setiap manusia punya tanggung jawab penuh terhadap diri mereka sendiri. Baik-buruk yang mereka lakuin udah jadi urusan pribadi. Kalau dia mau ngerusak dirinya pake cara-cara bodoh ya itu jadi haknya juga. Tapi, kenyataannya setiap manusia dikasih logika. Dia tahu hal yang boleh dan gak boleh dia lakuin. Dia tahu sesuatu yang pantas dan gak pantas dia perbuat. Kalau dia berbuat kriminal, artinya dia siap nanggung konsekuensinya, dia siap lebih disakiti sama orang-orang yang ada di sekitarnya."

Hilya menopang pipi ketika empat temannya terdiam.

"Tapi... andai dia pilih hal yang lainnya, lebih bisa buka mata kalau di dunia ini dia bukan satu-satunya. Cari cara yang lebih positif buat melampiaskan kekecewaan akibat ganasnya takdir yang Tuhan gariskan, hidupnya bisa aja gak serusak sekarang." Hilya tersenyum. Altha yang bersandar menunduk dalam. "Sakit yang dia alami bakalan jadi pelajaran supaya dia gak melakukan hal yang sama. Kekosongan yang dia rasain bisa diisi cinta sama anak-anak yang lebih gak beruntung dari dia. Dan seandainya dia ngerasa butuh sandaran... Tuhan bakalan selalu setia jadi tempat curhatnya."

"Ciee... Hilya Teguh mulai berkata bijak."

Mereka berlima tertawa.

"Enggak, sih. Tapi kalau gue sendiri gitu, ya. Lebih suka sama cowok... yang gak perlu ke orang lain deh, seenggaknya dia menghargai hidupnya sendiri." Hilya memukul pundak temannya yang terus tersenyum mengejek. "Seriusan, kalau suatu hari nanti gue jatuh cinta, gue mau sama cowok kayak gitu."

Altha mengintip lewat jendela. Baru kali ini dia melihat tawa seseorang yang bisa menghapus sebagian dukanya. Sosok yang sanggup memberi jalan untuk hidupnya yang sudah beberapa bulan ini terasa gelap.

"Namanya Hilya..."

Di antara lima adik kelasnya itu, bagi Altha Hilya yang paling cantik dan bersinar.

"Dia suka sama cowok yang menghargai hidupnya sendiri." Altha berjalan menuju toilet, dia merogoh sakunya, mengeluarkan benda pemberian temannya lalu melemparkannya ke sana. Altha mengulum senyuman kecil. "Ini pertama kalinya gue jatuh cinta."

{aaa}

"Hilya... apa pendapat kamu soal pemabuk?" tanya Altha tiba-tiba. Mereka sedang duduk di restoran, saling berhadapan dengan adik bungsu Altha yang duduk di pangkuan pria itu. Anak kecil yang baru berusia tiga tahun.

Ya, sekarang Altha sudah bukan anak tunggal. Dia punya dua adik dari ayahnya dan satu adik dari ibu kandungnya.

Adik Altha sibuk melahap eskrim cokelat. Altha sesekali mengelap mulut anak itu dengan tisu.

"Pendapat kayak gimana?" tanya Hilya balik. Dia memasukkan satu potong daging ke mulutnya. Mengangkat alis bingung.

"Ya... pokoknya pendapat kamu tentang mereka."

"Gak ada, sih." Hilya menggeleng. "Tapi, sebisa mungkin saya gak bergaul sama mereka."

Hilya memotong dagingnya lagi, dan melahapnya dengan khidmat. Ini pertama kalinya Hilya dibawa ke restoran bintang tiga. Altha benar-benar orang kaya.

"Sebatas kenal gak pa-pa. Seperlunya aja. Tapi kalau untuk yang lebih..." Hilya mengernyit. "Saya gak suka sama orang yang bahkan gak menghargai hidup mereka sendiri."

Altha tertegun. Sedetik kemudian dia tertawa.

Ternyata... sejak dulu sampai sekarang, Hilya memang tidak berubah.

Altha merasa bersyukur karena dia sudah memberanikan diri melamar Hilya.

Bersambung...

Kekasih Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang