"Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. Az Zukhruf : 67)
"Tiga tahun lalu, begitu menyelesaikan studi S1, saya langsung bekerja di tempat ini." Tias membuka pembicaraan saat mereka sampai di kafetaria. Mereka duduk saling berhadapan.
Hilya melihat arloji di tangan kiri, sepertinya dia tidak akan sempat salat di rumah, begitu pembicaraan ini selesai Hilya akan mencari masjid terdekat, masjid mana pun selama bukan musola yang ada di lantai atas perusahaan Altha. Hilya belum siap bertemu muka lagi dengan pria itu.
"Sebagai sekretaris saya yang mengatur setiap keperluan Pak Altha, saya sudah seperti asistennya." Tias meneruskan cerita. "Orangtua kami juga saling mengenal dan akrab, saya dan Kak Altha kuliah di satu Universitas yang sama."
Langsung saja ke intinya. Hilya menggerutu dalam hati. Ini hanya membuang waktu. Seumur hidup, Hilya itu selalu jomblo, tapi entah kenapa dia sering dilabrak oleh gadis lain seperti ini. Dianggap menggoda pacar atau suami orang lain padahal Hilya bahkan menghindari interaksi tidak penting dengan lawan jenisnya kecuali kalau para pria itu kebetulan teman sekelas.
"Beberapa bulan lalu, orangtua kami sepakat untuk menjodohkan kami berdua." Tias menatap Hilya dalam. "Tapi Pak Altha menolak, dia bilang sudah punya calon istri pilihannya sendiri."
Hilya tetap tidak bicara, lebih tertarik memainkan sedotan di gelasnya.
"Kami berasal dari keluarga yang setara." Tias mengepalkan tangan. "Saya memilih bekerja di bawah Pak Altha, saya berusaha menjadi wanita yang dia suka. Saya memakai hijab karena Pak Altha pernah bilang itu merupakan kriteria istrinya. Saya yang lebih mengenal Pak Altha lebih dulu, tapi kenapa kamu..."
Tias menelan ludah, "Kenapa kamu mau merebut dia dari saya?"
Hilya kali ini balas menatap Tias.
"Cinta saya buat Pak Altha, jelas lebih besar dan tulus dari kamu."
"Kalau Anda sudah selesai bicara, boleh saya pulang? Saya belum zuhur." Hilya berdiri. Tidak tertarik mendengar curahan hati dari gadis yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Tias hanya ingin menyalahkan Hilya atas frustrasinya. Padahal Tias sendiri tahu, bertanya pada Hilya tidak akan memberinya jawaban yang memuaskan. Seharusnya Tias langsung bertanya pada Altha langsung saja.
"Saya belum selesai bicara!"
"Lalu Anda mengharapkan jawaban apa?" Hilya balas bertanya. Dia mengembuskan napas perlahan –semakin kesal. "Seperti yang Anda bilang, Anda yang lebih dulu kenal Kak Altha, Anda sekretarisnya dan mengurus setiap keperluannya. Anda dan Kak Altha berasal dari keluarga yang setara. Anda juga yang lebih tulus mencintai Kak Altha. Terus?"
Hilya menggeleng tidak habis pikir, "Bukan saya yang meminta Kak Altha untuk menikahi saya. Dia yang datang sendiri dan mengajukan lamarannya. Saya gak cinta sama dia apalagi melakukan hal yang sudah Anda berikan. Tapi walau seperti itu, dia tetap memilih saya. Di mana letak kesalahan saya?"
Tubuh Tias tremor, dia tidak tahu harus menjawab apa?
"Anda ingin saya menolak lamaran Kak Altha? Anda ingin saya terlihat buruk dan nama Anda sendiri tetap bersih di mata dia." Hilya mengambil tasnya, bersiap untuk pulang. "Saya muak berurusan dengan wanita-wanita pecundang seperti Anda. Permisi."
Hilya bergegas pergi.
Bibir Tias bergetar. Pandangannya mengabur, air menumpuk di pelupuk.
"Apanya yang kayak malaikat? Dia lebih buruk dari yang aku sangka sebelumnya." Tias menyeka pipi basahnya. Mengingat setiap pujian Altha setiap menggambarkan sosok Hilya. "Kenapa Altha pilih perempuan yang karakternya sejelek itu?"
Tias sesenggukkan. Dia berdiri saat sadar menarik perhatian banyak orang. Segera dia pergi meninggalkan kafetaria.
"Dasar jelek."
(aaa)
"Gue masih tetep kesel." Hilya kembali melahap eskrimnya. Sudah gelas kelima, dia berakhir di restoran langganannya dan memutuskan menenangkan diri di sana. Percakapannya dengan Tias tadi masih terus terngiang. Dadanya bergemuruh, kesal karena selalu menjadi pihak yang disalahkan walau dia tidak melakukan apa pun.
Hilya melihat pantulan bayangannya di cermin kecil di mejanya. Dia menatap wajahnya sendiri saksama.
"Huh! Gue cantik emang, wajar kalau beberapa cowok klepek-klepek sama gue."
"Narsis aja."
Seseorang meletakkan satu piring kentang goreng dan sosis bakar di mejanya. Hilya menoleh lalu mendongak. Seorang pemuda jangkung berdiri di sana, memakai stelan pegawai restoran sambil tersenyum mengejek.
"Apa kabar skripsi?"
"Sssst!" Hilya meletakkan telunjuk di bibir, meminta pemuda itu tidak menanyakan sesuatu yang 'tidak penting'. "Gue gak pesen ini."
"Traktiran gue. Dari tadi lo makan eskrim doang nanti perut lo sakit." Galih, teman sekelas Hilya di kampus memberikan cengiran bersahabat. Hilya tersenyum lebar, mulai memakan kentangnya. "Lo kelihatan lagi bad mood. DIlabrak orang lagi?"
"Biasa, cewek cantik emang selalu jadi rebutan."
"Wew." Galih mencebik. "Apa gue bilang? Pacaran sama gue biar gak ada cowok yang deketin lo."
"Males."
"Gue ganteng loh."
"Ogah."
"Kalau pacaran sama gue nanti lo sering gue traktir kentang goreng."
"Jadi, harga gue cuma setara kentang goreng gitu?" Hilya melotot. Galih tertawa. Hilya mengibaskan kedua tangan –mengusir. "Ogah pacaran sama bocah."
"Pacaran haram, ya, Hil?"
"Hm. Apalagi pacaran sama playboy gaje kayak lo. Minggat. Napsu makan gue ilang entar."
Galih tertawa. Pemuda yang bekerja part time di restoran itu meninggalkan meja Hilya saat seorang tamu mengangkat tangan –hendak memesan. Sesekali Galih melirik Hilya. Hilya hanya mengulas sunggingan tipis, lalu tenggelam dalam lamunannya lagi.
Hilya tidak kesulitan saat bicara dengan lawan jenisnya. Berbeda dengan sepupu-sepupu perempuannya yang jarak balas menatap lawan bicara jika berbeda gender, Hilya bisa menatap mata orang lain dengan santai tidak peduli siapa pun orangnya.
Bisa dibilang, dia mungkin jadi gadis terburuk dibanding keluarganya yang lain.
Terserahlah. Hilya tidak terlalu peduli juga dengan pendapat orang. Dia sudah biasa dikomentari menyebalkan dan tidak mau kepikiran. Tapi... kenapa dia masih terganggu dengan kata-kata Tias tadi?
Hilya melihat arloji di tangannya. Pukul setengah enam sore. Sebaiknya dia menunggu magrib dulu baru pulang. Lagipula, cepat-cepat pulang pun tidak banyak yang bisa dia lakukan.
Hilya menggigit kentangnya lagi, meluruskan pandangan, dia tertegun.
Kentang di tangannya terjatuh.
"Kenapa Kak Altha ada di sini?" tanya Hilya heran.
Altha tersenyum kecil, dia duduk di kursi depan Hilya.
"Kamu tadi pas pulang kelihatan marah, jadi begitu kerjaan beres saya nyusul." Altha menjelaskan.
"Kenapa Kak Altha bisa tahu saya ada di sini?" tanya Hilya horror.
Altha memalingkan pandangan, mengangkat tangan kanannya memanggil pelayan.
"Kamu mau pesan apa, Hil?" Altha mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa Kak Altha bisa tahu saya ada di sini?" Hilya semakin melotot.
Altha menggaruk pipinya, lalu tertawa renyah.
Creepy. Pria di depan Hilya saat ini, sesekali memang membuatnya ngeri.
bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Pilihan Allah
SpiritualStalker syari'ah, julukan itu yang Hilya berikan pada pria yang sudah sejak lama selalu mengawasinya. Hilya Delima tidak terganggu dengan komentar orang-orang karena tetap memilih single di usianya yang ke-23. Dia tidak mau berurusan dengan laki-lak...