HARPER : CHAPTER 1

112 47 19
                                    

Yang ia takutkan benar-benar terjadi.

Memori-memorinya datang lagi.

Kepalanya. Kepalanya pusing dan berkunang-kunang, seperti baru saja menabrak tiang listrik dengan keras. Ada suatu rasa nyeri aneh di kepalanya, rasa nyeri yang menyakitkan tetapi entah bagaimana sulit untuk diungkapkan. Tangannya refleks mengepal dan menyentuh keningnya, berharap dapat meredakan sedikit rasa sakit, yang mana sia-sia.

Mengambil tasnya yang sebelumnya ia jatuhkan, Harper berjalan dengan sempoyongan menuju bangku di pojok trotoar kota terdekat., mencoba menenangkan diri.

Rileks, Harper rileks.

Jangan berpikir. Jangan berpikir.

Tetapi sebelum Harper mengambil alih, sepertinya alam bawahsadarnya sudah mengambil alih pikirannya duluan.

Seorang bocah lelaki dan Harper muda berada di sana. Di sebuah dataran tandus yang kering dan terik.

Membawa tas ransel besar dan topi bundar ala penjelajah di kepalanya.

Di tangan mereka ada sebuah kertas. Kertas bergambar dengan tanda panah-tanda panah.

Kambuh lagi. Memori-memori anehnya kembali lagi.

Dan Harper hanya bisa menonton memori-memori itu terputar di kepalanya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Oh. Kertas itu adalah peta.

"Ini seharusnya menunjuk kearah utara," sahut si bocah lelaki.

"Bukan. Seharusnya barat. Pria tadi bernama West. Itu sebuah clue, kau tahu? West. Barat. Kita harus berjalan ke barat.

Kemudian pemandangan berganti.

"Emilie, putri kecilku!" seorang pria berambut pirang.

Putri. Pria itu menyebut Harper putrinya.

Putri.

Mungkinkah pria itu adalah ayahnya?

Sebab pria itu memiliki mata dan hidung yang persis sama dengan dirinya.

"Ayah," Harper kecil memeluk pria itu erat.

Ayah?

Tidak, ini harus berhenti.

Rileks, Harper, rileks.

Pikirkan hal lain.

Kau harus pulang.

Pulang.

Pulang.

Pulang.

Pulang. Pulang. Pulang.

"Pulang, sayang. Pulanglah," seorang wanita berambut hitam bicara padanya.

"Pulang. Pulang."

PULAANG....

PULANGG.

"TIDAAAAAAAAKKK..........," Harper berteriak keras tanpa sadar. Begitu kencang sehingga menyadarkan dirinya sendiri dari memori-memorinya. Hampir sama halnya dengan orang yang bermimpi buruk dan tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya karena teriakannya sendiri.

"Hhhhh...hhhh," Harper terengah-engah. Jantungnya berdegup begitu kencang dan keringat mengalir dari dahi dan lehernya. Wajahnya begitu pucat seakan-seakan baru saja melihat hantu.

Tenang Harper, tenang.

Rasakan apa yang ada disekitarmu.

Engkau baik-baik saja.

Harper menarik napas panjang, memenuhi kedua paru-parunya dengan udara. Embusan angin pelan menerpa rambutnya. Angin malam yang nakal. Menyibak rambut seorang gadis seperti itu seolah sedang merayunya. Kemudian menjatuhkan daun tepat di celah kecil antara cuping telinga dan kepala, membuatnya bak gadis bali jelita dengan bunga di telinganya.

Entah dimana sekarang orang yang membuntutinya itu sekarang.

Mungkin pergi, mungkin bersembunyi.

Atau mungkin bahkan tidak ada sama sekali.

Mungkin saja pria bertato dengan kumis hitam hanyalah seseorang didalam benaknya. Mungkin saja penguntit itu benar-benar hanya khayalannya.

Maklum. Ini malam hari.

Waktu dimana seekor kucing sekalipun bisa terlihat seperti monster besar ganas dengan mata bercahaya.

Mungkin saja seseorang yang ia pikir sedari tadi mengawasinya adalah sebatang pohon di sudut jalan. Dan bunyi besi tadi hanyalah bunyi bel tua yang dibunyikan oleh si angin nakal.

Harper mengambil napas dalam-dalam sekali lagi, dan merasa jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Rasa takut berlebihannya pada penguntit atau seseorang di malam hari sudah hilang, habis sama sekali. Berganti dengan perasaan tenang dan nyaman.

Badannya tidak lagi gemetar dan berkeringat berlebihan. Kepalanya juga tidak lagi pusing berkunang-kunang.

Harper melirik jam tangannya sekilas, kemudian tersadar akan sesuatu.

Ia harus cepat-cepat pulang.

Ia baru saja menyelinap keluar dari rumahnya empat jam yang lalu.

Semoga saja bibinya tidak terbangun pada malam hari seperti biasanya.

Harper menyambar tas tangannya, melepas sepatu hak merahnya dan menjinjingnya, kemudian berlari sepanjang jalan kerumah.

Harper : The NavigatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang