HARPER : CHAPTER 2

92 48 30
                                    

Harper terlonjak bangun.

Suara deru kencang menembus kamar, membangunkan Harper dari tidurnya. Pesawat terbang teramat rendah sehingga menimbulkan getaran yang cukup kencang untuk menggetarkan meja belajarnya sehinggal gelas beling berisi airnya bergeser beberapa milimeter dari kedudukan semulanya.

Sudah pagi rupanya.

Sial. Ia masih memakai gaun merah dan mantelnya bekas kemarin malam. Ia harus cepat-cepat mandi dan berganti baju sebelum bibinya, Keith, datang untuk membangunkannya, dan dengan cepat menebak apa yang terjadi semalam. Bahwa keponakan tersayangnya menyelinap dari rumah untuk menghadiri pesta ala anak SMU dengan gaun merah kesayangannya, hadiah pernikahan terakhir yang suaminya berikan, alias tentu saja pamannya, sebelum beliau pergi.

Cepat-cepat Harper menanggalkan gaun merah itu, menaruhnya di kolong kasur supaya tidak seorangpun menemukannya, kemudian melesat menuju kamar mandi dengan dibalut handuk mandinya seperti orang kalap.

Harper kembali dengan wajah segar dan dengan rambut dibalut dengan handuk. Kemudian duduk di kursi riasnya, dengan kasar melepas ikatan handuk dikepalanya, membuat rambut pirang basahnya terlihat. Entah terdengar dilebih-lebihkan atau tidak, tetapi rambutnya yang belum kering itu membuatnya terlihat seperti pemain film laga yang baru saja selesai memenangkan pertarungan dibawah hujan dengan napas tersengal.

Tujuh menit. Itu adalah rekor barunya yang pantas untuk mendapatkan apresiasi, jika saja ia memiliki sedikit saja waktu untuk itu. Dan sayangnya ia tidak.

Harper menoleh membelakangi kaca riasnya, melirik jam digital di meja belajarnya, terkesiap. Empat belas menit lagi ia harus sudah sampai ke sekolahnya jika ia tidak ingin terlambat mengikuti ujian mata pelajaran kalkulusnya. Dan ia tahu betul sifat Bu Wreith yang takkan mengizinkan siapapun yang datang terlambat, barang semenit sekalipun, untuk berada di kelasnya.

Satu kesalahan, dan semua usaha yang dia lakukan akan sia-sia. Satu keterlambatan dan ia harus mengulang lagi pelajaran kalkulusnya.

Tidak datang saat ujian berarti mengulang. Suara tidak bersahabat nan tegas milik Bu Wreith saat kelas kemarin siang terus terngiang di kepala Harper.

Harper menyambar pengering rambut di dekatnya, segera menyalakan tombol on, membiarkan kipas didalam mesin pengering rambut itu berputar, dan mengeluarkan angin panas yang akan membuat rambutnya cepat kering. Tetapi beberapa detik kemudian ia berubah pikiran dan meletakkan alat itu kembali di meja dengan kasar.

Ia menyambar jaket kulit cokelat dari gantungan bajunya.

Sebelas menit lagi.

Tidak lagi memedulikan rambut basahnya yang berantakan, Harper menyambar sebuah buku tebal diantara tumpukan bukunya, sebuah buku tipis, sebuah pulpen, beberapa kertas dari tumpukan kertas-kertas penuh coretan, dan memasukkannya dengan asal ke tasnya. Persetan dengan kertas-kertas dan bukunya yang mungkin akan tertekuk-tekuk di dalam tasnya. Ia tidak peduli.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Harper saat itu adalah masa depan nilai kalkulusnya. Hanya itu.

Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mengalami hal yang jauh lebih parah daripada mendapat omelan Bu Wreith dan mengulang kelas kalkulus.

Dan tidak sedetikpun ia pernah menyangka bahwa omelan Bu Wreith kemarin siang akan menjadi omelan terakhir yang didengarnya. Bahwa soal latihan kemarin siang adalah soal latihan terakhir yang diberikan oleh gurunya. Atau bahwa kemarin adalah hari terakhirnya melihat gedung sekolahnya berdiri tegak.

Ia baru saja akan melangkah keluar kamarnya setelah berpakaian, ketika telinganya mendengar suara dentuman yang sangat kencang. Sebuah dentuman keras yang menggetarkan seisi ruang, bahkan rumah. Begitu besar getaran yang ditimbulkan sampai mampu memecahkan kaca jendelanya dan menjatuhkan gelas beling berisi airnya yang semula berada di mejanya, membuatnya pecah berkeping-keping dan membuat air didalamnya menggenangi sebagian sudut kamar.

Harper : The NavigatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang