HARPER : CHAPTER 3

72 44 21
                                    

Pria itu masih mengejarnya.

Demi Tuhan, pria itu juga sedang berlari dibelakangnya. Telinganya dengan jelas mendengar suara sepatu yang bertumbukan kencang dengan permukaan lantai.

Harper memperlambat sedikit kecepatan larinya, tidak ingin mengambil risiko terjatuh dari tangga dan terkilir, sembari menoleh ke belakang secara terus-menerus.

Semakin banyak anak tangga yang dilaluinya, semakin dekat saja jarak pandangnya. Semakin dekat ia dengan lantai bawah tanahnya, semakin gelap saja sekelilingnya. Di dalam hati, Harper berharap bahwa sintesis rhodopsin di matanya berlangsung dengan cepat agar matanya bisa dengan cepat beradaptasi dalam gelap, membawanya berlari tanpa terjatuh ataupun menubruk sesuatu.

Jika saja Harper bisa jujur, maka sejujurnya ia tidak ingin pergi ke ruang bawah tanahnya. Sebab lantai bawah tanah itu sama sekali tidak pernah tersentuh oleh tangan sejak delapan bulan yang lalu. Dan kalau saja bukan karena situasi yang mendesaknya, Harper takkan mungkin berani pergi ke ruang bawah tanah yang gelap sendirian tanpa senter dan sambil berlari.

Dhuar, Dhuar.

Pria yang mengejarnya itu menembakkan senjatanya dua kali, entah tembakan peringatan atau tembakan yang ditujukan untuk melukai Harper untuk membuat gadis itu setidaknya, memperlambat larinya. Karena sungguh jika soal berlari, yakinlah bahwa semua orang akan memasang taruhannya pada Harper.

Gadis itu cepat dalam berlari dan tidak ada yang bisa mengalahkan-

Oh, maaf, kuralat perkataanku.

Harper memang cepat, tetapi orang ini, pria dibelakang yang mengejarnya ini SANGAT CEPAT.

Sedetik yang lalu pria itu bahkan belum menyentuh tangga, dan sekarang, pria itu hanya dua anak tangga jauhnya dari Harper. Tangan panjang pria itu, bergerak cepat kedepan, akan menarik bagian belakang bajunya dan menghentikan Harper, tetapi matanya beruntung masih bisa menangkap pergerakan pria itu dan bergerak cepat.

Lima anak tangga masih tersisa dibawahnya. Dengan cepat Harper melompat, dan kembali berlari begitu ia mencapai lantai basement.

Harper berlari sambil tangannya meraba permukaan dinding, menjadi penunjuk arah satu-satunya karena kegelapan hampir membuat matanya buta sama sekali. Berlari terus, sampai pada ia simpangan lorong kedua dan berbelok menuju kanan.

Tunggu. Dimana pria itu tadi?

Entah bagaimana telinganya kehilangan jejak atas pria itu. Telinganya tidak lagi bisa mendengar suara langkah berlari dibelakangnya. Entah karena ia berlari terlalu cepat atau karena detak jantungnya sendiri yang berdetak begitu cepat dan keras, menulikan telinganya untuk mendengar suara apapun kecuali detak jantungnya sendiri.

Harper berhenti. Menyandarkan kepalanya pada dinding, memejamkan mata, mencoba mengatur napas.

Ia dapat merasakan butiran air keringat mengucur deras di dahinya, dan minyak juga keringat di kedua telapak tangannya saat ia meremasnya.

Harper menggigit bibirnya. Seperti yang selalu dilakukannya saat gugup, hanya saja kali ini lebih tepatnya ia TAKUT.

Gadis itu menyatukan kedua tangannya seperti akan berdoa, sementara detak jantungnya semakin tidak keruan sampai-sampai Harper mengira ia akan mati saat itu juga. Ia mencoba memasang telinganya baik-baik, mencoba melihat pergerakan pria yang mengejarnya dari suara langkahnya, tetapi sia-sia.

Badannya bergetar hebat dan Harper berani bertaruh bahwa wajahnya saat itu pastilah sepucat mayat. Matanya yang sebelumnya dapat samar-samar melihat dalam jarak dekat kini mengabur, seperti gambar di televise yang antenanya rusak.

Harper : The NavigatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang