"Enggak bisa," ucap seorang penjual es sambil mengambil satu es batu dari plastik.
"Ayolah, Paman," rayuku.
Aku mencoba tawar-menawar dengan penjual es yang berada di pinggir jalan. Awalnya aku menunggu temanku, kami janjian untuk berangkat bersama. Lama aku menunggu, matahari mulai membakar seluruh tubuhku. Aku mulai tak tahan dengan panasnya matahari. Aku mencoba mencari sesuatu yang segar. Beruntung aku melihat kedai es yang sangat menggoda rasa hausku, kedai dengan dekorasi sederhana layaknya kedai biasa. Namun ada yang unik dari kedai ini, yaitu banner yang bertuliskan: kesegaran dunia ada di tempat ini. Bagaimana mungkin aku tidak tertarik. Berbagai merek es kemasan juga terpajang di sana, mulai dari teajus, nutrisari, jasjus, dll.
"Itu udah harga pas!" ucap penjual es sambil memperhatikanku dengan wajah sedikit kesal.
"Mahal bangat!"
"Segitu mahal?! Mending ngga usah jajan!" katanya seraya menghancurkan es batu dengan palu.
"Kurangin dikit aja," kataku dengan senyuman merayu tukang es tersebut.
"Pergi aja sana," ucapnya sambil menaruh pecahan es batu ke dalam ice box.
"Dasar pelit," sahutku dengan wajah datar.
"Pelit! Lu yang keterlaluan, tong! Masa jajan es yang seharga 2000 masih nawar juga!" sahutnya dengan wajah kesal.
"Tahun 2010 harganya masih 1000,"
"Pergi lu!" ucap tukang es sambil menggengam beberapa es batu.
Aku langsung berlari sebelum semua batu es itu melayang ke arahku. Aku hanya bisa menelan ludah guna menahan haus--tenggorokanku kering seperti kolam yang baru dikuras--berharap masih ada es yang murah di sekitar sini. Cuaca yang panas dan matahari yang serasa berada tepat di atas kepala, membuat tubuhku basah oleh keringat yang bercucuran dari ubun-ubun kepala sampai telapak kaki.
Andai ini di padang pasir. Mungkin aku sudah melihat fatamorgana--danau, air terjun kecil, pohon kelapa, dan unta yang sedang minum--sungguh pemandangan yang sangat indah. Jika itu terjadi, walau fatamorgana sekalipun. Pasti aku akan berlari dan melompat ke sana sambil berteriak, "Aku datang sayang!" sayangnya itu hanya imajinasi liarku saja.
"Woy!" teriak temanku sambil menepuk pundakku. Aku meliriknya tanpa berkata apa pun.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun dia menertawaiku dengan keras. Andai aku punya sedikit tenaga untuk memukul wajah menyebalkannya, pasti aku sudah menghajarnya.
"Nih minum," ucapnya sambil memberikanku sebotol air dingin.
Aku langsung menggenggam botol dingin itu dan memandanginya dengan mata yang berkaca-kaca. Sekilas aku melihat temanku seperti sosok malaikat yang datang untuk memyelamatkanku. Dengan membentangkan kedua tangannya. Dia berkata, "Minumlah, jika kamu tidak ingin mati," sungguh sosok yang indah dengan burung yang berada di sisinya dan pelangi di belakangnya....
Plak!
"Cepat minum!" ucapnya yang menghilangkan semua halusinasiku.
"Iyaa."
Tanpa sadar aku langsung menghabiskan satu botol air dingin tersebut. "Huaa ... Segarnya!"
"Lu kesurupan?" tanyanya dengan wajah kaget.
"Lu pikir ini salah siapa!"
"Maaf-maaf."
"Udah tau gua enggak tahan panas," ucapku sambil menghancurkan botol dan membuangnya ke tempat sampah.
Dia hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat yang selalu dituju para pelajar.
"Katanya ada anak baru hari ini," ucap temanku.
"Anak baru?"
"Itu yang aku dengar waktu aku dipanggil guru BK," katanya sambil menggaruk kepalanya.
"Pindah di tahun ketiga. Apa yang terjadi di sekolah lamanya?" tanyaku sambil melirik temanku.
"Entahlah," jawabnya sembari menaikan kedua bahunya.
Murid pindahan di tahun ketiga. Pasti ada masalah di sekolah lamanya atau orangtua nya pindah karena pekerjaan. Itulah yang aku pikirkan sepanjang jalan; sampai kelas pun aku masih memikirkan alasan anak itu pindah sekolah di tahun ketiga.
Lamunanku hilang saat bel sekolah berbunyi. semua murid mulai masuk dan duduk di tempatnya masing-masing. Selang beberapa menit, guru pun datang bersama murid pindahan yang dibicarakan temanku. seketika aku terkejut melihat murid tersebut dan hanya bisa memandanginya.
"Dia!" teriakku yang sontak menarik perhatian semua penghuni kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Bersamanya
Teen FictionAku merasakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Bagiku saat-saat bersamanya sudah sangat membuatku bahagia. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, merasakan sentuhannya. Andai saja, aku bisa me...