"Woy! Kenapa lu?" tanya Roman setelah menepuk pundakku.
"Enggak," jawabku yang bahkan tidak menoleh ke arah Roman.
Entah kenapa aku merasa tidak bersemangat belakangan ini. Perkataan Reina saat di atap sekolah, masih bergema di telingaku. Setelah mendengar ungkapan dari Reina, aku merasa tak bersemangat untuk bernapas. Terasa seperti menghirup gas beracun yang menyiksa setiap detiknya. Dadaku terasa sesak, sangat sesak!
Aku menjaga jarak dari Reina. Berharap ia tidak menanyakan soal Alex. Karena aku belum bicara apa pun dengan Alex. Bahkan saat di club, diriku tidak mendekati Alex sama sekali. Mungkin kalian berpikir ini jahat, yaa aku tak bisa menyangkal hal itu. Andai kalian tahu seperti apa rasanya menjodohkan orang yang dicintai dengan teman sendiri. Lebih sakit daripada saat kita dicontek teman tapi teman kita yang dapat nilai bagus. Sakit kan? Sangat sakit!
Saat pelajaran, istirahat, di kelas, aku terus menghindari Reina. Entah apa yang kupikirkan. Hanya saja, aku tidak ingin Reina menanyakan soal Alex lagi. Bahkan saat Roman bertanya apa aku bertengkar dengan Reina, diriku hanya menjawab kami baik-baik saja. Jelas sekali Roman tak akan memercayai jawaban itu. Biarlah itu jadi urusan dia.
Sejauh apa pun aku menghindar, Reina tetap berada dalam pandanganku. Sore ini ada kegiatan club bola. Di pinggir lapangan, tepatnya di barisan bangku penonton. Ada sosok gadis yang selalu aku hindari dari kemarin. Reina datang untuk menyemangati Alex. Alex yang disemangatin! Bukan aku! Tapi Alex! Pandangannya selalu mengikuti ke mana arah Alex berlari. Aku tidak bisa konsentrasi, bahkan aku selalu berbuat kesalahan saat latihan. Tidak menerima pass dengan baik, menendang bola keluar lapangan, bahkan terjatuh saat aku berlari mengejar bola.
Bagaimana mungkin aku bisa konsentrasi saat Reina terus bersorak dan mendukung Alex dari posisi dia berada? Andai saja ada sebuah mikrofon di tanganku dan tersambung dengan speaker yang besar, volume nya akan ku full-kan dan berteriak sekeras mungkin, sangat keras! Agar mereka bisa dengar jeritan hatiku.
"Riyo, awas!" teriak Acep yang langsung menghilangkan semua imajinasiku. Aku terkejut dan tidak bisa menghindari bola yang melesat ke arahku.
Duak!
Kubuka mata perlahan dan pandanganku terarah ke langit ruangan. Aku hanya bisa menghela napas. "Semua karena aku melamun dan berimajinasi yang unfaedah. Aku tau dengan jelas di mana diriku berada sekarang," ucapku dengan pelan sambil memegang kepalaku yang masih terasa sakit dan pusing. Aku hanya berbaring di kasur dan terus memandang langit ruangan UKS sekolah. Sayangnya diriku tidak bisa melihat sekitar karena gorden yang menutup sekitar.
"Kamu sudah sadar?" ucap Reina yang muncul dari balik gorden dan langsung duduk di sebelahku.
Dengan ekspresi kaget aku melihat ke arah kiriku. "Reina? Kamu sedang apa?"
"Aku nemenin kamu. Habisnya kamu enggak sadar-sadar, hidung kamu juga ngeluarin darah terus," jawabnya sambil memegang tangan kiriku.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku sembari merubah posisi yang tadi rebahan menjadi duduk di kasur.
"Sudah jam pulang sekolah," kata Reina yang berdiri di sampingku, sehabis membantuku merubah posisi.
"Kenapa kamu enggak pulang?"
Reina langsung cemberut. "Kamu tuh yaa! Aku di sini nemenin kamu. Aku khawatir, takut kamu kenapa-napa. Roman juga tadi di sini tapi dia pulang duluan dan nyuruh aku nemenin kamu. Aku khawatir juga! Kamu malah nyuruh aku pulang," ucapnya, kemudian duduk sambil melipat tangan di dada.
Aku hanya bisa tersenyum kecil. "Makasi, karena udah khawatirin aku," kataku.
"Sama-sama, kita'kan teman," ucapnya diiringi senyuman dari wajahnya.
Seketika aku kehilangan senyumanku. Terdiam mendengar kata teman dari mulut Reina. Dengan sedikit paksaan kucoba tersenyum kembali. "Iyaa, teman," ucapku.
Kualihkan pandangan ke arah jendela dan menatap senja yang indah. Bahkan ocehan Reina tidak lagi ku dengar. Aku hanya fokus dengan apa yang aku lihat, berharap ini hanya mimpi.
Teman! Itu yang dikatakan Reina. Aku memang bodoh, berharap Reina memikirkanku lebih dari kata teman. Dia khawatir? Hanya khawatir terhadap teman. Dia peduli? Hanya peduli kepada teman. Aku saja yang terlalu berlebihan. Bodoh! Diriku memang bodoh!
Aku menarik pandanganku dari senja dan menengok ke arah Reina. Kudapati Reina yang masih mengoceh, bahkan aku tidak tahu apa yang dia katakan. Kutarik napas panjang dan mengembuskan nya. "Ayoo kita pulang," itu yang aku ucapkan. Berjalan tepat di belakang Reina, pandangan kosong. Tidak ada yang ku pikirkan sama sekali. Sampai berpisah di stasiun dan sampai aku berbaring di kasur, pikiranku masih kosong.
"Teman, kah?" ucapku yang kemudian memejamkan mata dan tertidur pulas.
Hari ini aku tidak harus menghindari Reina lagi. Karena aku sudah paham betul siapa diriku ini, Reina hanya menganggapku sebagai teman. Hanya teman! Kok aku kesal yaa?! Biarlah hanya Sang Pencipta, Roman dan aku yang tahu tentang perasaan ini.
Sebelum memasuki kelas aku menemui Alex di lapangan. Hanya ada kami berdua di tengah lapangan, berasa seperti adegan action di anime. Aku berdiri tepat di hadapan Alex yang sedang melakukan juggling.
"Hey, ada apa? Tumben sekali lu nemuin gua di luar jam club. Ada apa?" tanya Alex yang masih melakukan juggling.
Aku berdiri tegak sambil memasuki kedua tanganku di saku. "Lu kenal Reina? Murid yang baru pindah beberapa bulan lalu. Dia suka sama lu."
Alex menghentikan gerakannya. "Reina? Oohh! Iyaa gua kenal. Gua pernah makan siang bareng dia," ucapnya sambil memainkan jari telunjuk nya seperti seorang penyihir. Aku rasa dia memang seorang penyihir!
Dengan posisi yang masih seperti tadi, aku kembali bertanya. "Terus apa jawaban lu?"
"Bilang sama dia, gua tunggu sepulang sekolah di gerbang," jawabnya.
Tanpa berkata lagi, diriku pergi dari lokasi itu. Berjalan kembali menuju kelas, terus berjalan dalam lorong sekolah dengan pandangan lurus dan hati sedikit kesal. Aku coba paksakan senyumanku saat Reina berlari ke arahku.
"Kamu tadi sama Alex'kan? Kamu udah bilang? Terus, Alex jawab apa?" tiga pertanyaan Reina yang dia lontarkan sambil tersenyum manis.
"Kamu ditunggu sepulang sekolah nanti, dia nunggu di gerbang sekolah," ucapku dengan sedikit senyum paksaan.
"Asik!" teriak Reina sembari melompat riang di kelas.
Roman yang melihat dari bangkunya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Diriku tahu dia tak akan senang dengan keputusanku, tapi aku tidak bisa terus menghindar. Lagipula Reina sudah menyadarkanku bahwa kami hanyalah teman. Seperti biasa, kami makan bersama di jam istirahat, di bawah pohon besar pojok lapangan sekolah. Namun untuk saat ini Reina tidak bersama kami, karena dia ada urusan dengan guru kimia.
"Jangan memaksakan diri," ucap Roman sembari mengunyah makanannya.
Ucapan Roman langsung menarik lirikan mataku. "Tenang aja," kataku setelah melirik Roman.
"Gua kenal lu dari jaman kita rebutan power ranger merah. Lu bisa bohongin semua orang, tapi bukan gua! Lu emang bodoh, sangat bodoh!" ucapnya yang kemudian pergi meninggalkan diriku sendiri.
Aku hanya bisa memandang langit yang hampir menjelma menjadi senja. "Gua emang bodoh! Gua enggak sehebat lu, Roman," kataku dengan pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Bersamanya
Teen FictionAku merasakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Bagiku saat-saat bersamanya sudah sangat membuatku bahagia. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, merasakan sentuhannya. Andai saja, aku bisa me...