"Hey, Roy," ucap Reina sambil mengelus pipiku.
"I-iya, Re-Reina," ucapku gugup dengan mulut komat-kamit seperti mbah dukun baca mantra, seraya memejamkan mata.
"Aku mulai, ya."
Reina memelukku dengan tangan kirinya dan tangan kanannya berada tepat di pipiku. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat tepat di leherku. Wangi dari Reina yang terasa begitu kuat di hidungku. Wajah Reina mendekat, begitu dekat, sangat dekat ....
Kring! Kring! Kring!
"Sial! Kenapa tidak bisa menunggu sebentar lagi," ucapku yang baru saja mematikan alarm dengan mata yang masih terpejam.
Aku hanya terbaring di atas ranjangku. Kamarku adalah istanaku. Itu istilah yang aku buat sendiri. Karena memang hanya di sini aku merasa berada di rumah yang sesungguhnya. Hampir semua perabotan rumah tangga ada di kamarku; kulkas, TV, nintendo, komputer, laptop, rak buku, rak kaca yang berisi action figure anime kesukaanku, ac, kipas kecil, dan meja kecil tempatku menaruh sisah cemilan yang aku makan. Sisanya hanya perabotan seperti umumnya. Kamarku memang besar dengan cat berwarna biru--warna kesukaan ku--langit-langit kamar berlukisan awan dan beberapa burung yang terbang. Jika kalian berpikir kamarku bersih, kalian salah. Salah besar. Bahkan bibi selalu mengeluh, saat melihat kamarku yang berantakan. Tapi aku tidak pernah menyuruh bibi untuk membersihkannya. Karena jika ingin, aku yang akan membersihkannya sendiri.
Aku mencoba untuk melanjutkan mimpi indah itu lagi. Sayangnya, bayangan itu sudah hilang dan tidak bisa kuingat kembali. Kubuka mata perlahan dan memandang langit kamarku. Aku bisa melihatnya. Wajah Reina; senyum manisnya, mata indahnya, tawanya. Semua terlihat jelas.
"Den ... Den ... Sarapan, Den," ucap Reina. Entah kenapa suaranya tidak seperti Reina melainkan seperti suara bibi. Benar saja. Semua imajinasiku hilang seraya suara bibi yang memanggilku sambil mengetuk pintu.
Bi Siti. Beliau adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku. Hanya dia yang paling mengerti aku. Dia sahabat, teman curhat, dan teman bermain game. Kami sangat dekat, bahkan aku lebih dekat sama bibi daripada kedua orangtuaku. Jelas saja. Hanya bibi yang selalu ada waktu untukku. Orangtuaku? Mereka sibuk dengan dunia mereka. Sangat sibuk!
Aku berjalan menuruni tangga. Bahkan saat berada di tangga aku sudah bisa mendengar suara mereka bertengkar. Mereka adalah orangtuaku. Yang selalu debatin urusan kerjaan dan perusahaan mereka. selalu berdiskusi perusahaan siapa yang terbaik, sampai diskusi itu berakhir dengan perdebatan. Aku sudah biasa dengan suasana ini. Bahkan aku selalu menghabiskan waktu sarapanku bersama bibi di dapur, ketimbang harus bersama mereka di meja makan.
"Nih, Den sarapannya," ucap bibi sambil memberikan satu piring nasi goreng.
"Makasih, Bi," sahutku seraya menyantap sarapanku. Aku selalu makan bersama bibi di dapur, walau harus lesehan. Tapi itu lebih menyenangkan. Karena aku bisa menikmati sarapanku tanpa harus mendengar perdebatan yang tidak penting.
Setelah sarapan aku berniat menuju istanaku lagi. Sebelum aku melangkahkan kaki di anak tangga, Ayah memanggilku. Kesal dan malas rasanya. Karena aku tahu apa yang akan dia bicarakan. Aku buang napas kecil seraya memutarkan bola mataku sebelum aku menghampiri ayahku.
"Kenapa?" tanyaku dengan nada datar.
"Kamu sudah sarapan?"
"Sudah."
"Gini, nanti kamu ikut ayah ke perusahaan ayah. Nanti ayah ajarkan caranya menjadi penbisnis yang baik," ucapnya sambil memainkan laptop miliknya.
"Enak saja! Riyo harus ikut aku, bukan kamu!" bantah ibu sambil melihat ayah dengan mata melotot.
"Apaan sih! Perusahaan kamu itu enggak cocok untuk Riyo!" sahut ayah dengan nada tinggi.
"Perusahaan kamu tuh lagi down! Jadi enggak usah sombong!" balas ibu dengan nada lebih tinggi sambil menunjuk ayah.
Yaa, perdebatan mereka dimulai lagi. Bahkan aku belum sempat mengucap satu kata, tapi mereka sudah bertengkar lagi. Aku langsung berbalik dan kembali berjalan menuju istanaku. Berjalan menaiki anak tangga sambil menutup kedua telingaku menggunakan jari telunjuk. Memasuki gerbang istana lalu menutupnya dengan rapat, menyalakan TV dengan volume sangat tinggi berharap suara perang yang berada di luar istana tidak terdengar.
Aku hanya menghabiskan waktu di dalam kamarku dengan melakukan kegiatan yang kemarin sudah aku rencanakan. Berkali-kali aku mendengar ayah dan ibu mengetuk pintu kamarku, tapi tidak aku hiraukan sama sekali. Aku hanya fokus dengan 3 buku komik yang sedang aku baca, ditemanin beberapa snack dan satu gelas susu. Aku menikmati momen ini. Sangat menikmatinya.
3 komik, 10 snack, 6 gelas susu, 3 gelas besar jus jeruk. Itu adalah bukti aku menghabiskan waktu di sini. Jarum jam sudah berada di angka 3, yang artinya aku sudah harus keluar kamar untuk makan siang. Aku selalu makan siang jam 3 sore, karena jam segini kedua orangtuaku sudah keluar rumah. Jadi aku bisa menghabiskan makan siangku di meja makan bersama bibi. Makan sore lebih tepatnya sih.
"Bibi kalau masak kok enak banget, Bi," ucapku dengan senyum menggoda bibi.
"Bisa aja kamu, Den," kata bibi sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
"Apa sih, Bi. Lagi malu-malu," godaku lagi.
"Aden mah," ucapnya sambil cemberut.
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah laku bibi. Hanya bibi yang bisa aku ajak bicara di rumah ini. Beruntung masih ada bibi di dekatku, aku jadi tidak merasa kesepian saat berada di rumah. Mungkin jika bibi tidak bekerja di rumah ini, aku sudah berada di rumah sakit jiwa. Itu pasti.
"Terima kasih, Bi," ucapku dengan senyum kecil.
"Aden udah bibi anggap anak sendiri. Jadi anggap aja bibi ini ibu kedua kamu," ucapnya seraya berjalan ke arahku.
"Iya, Bi," ucapku sambil menundukan kepala.
"Aden kuat kok," kata Bibi sambil mengelus kepalaku.
Aku mencoba menahan air mataku. Hanya bibi yang paling mengerti perasaanku. Terkadang aku iri dengan mereka yang merasakan kasih sayang orangtua, mereka yang bahagia bersama keluarga saat berada di rumah, mereka yang bisa bercanda dan ngobrol secara normal layaknya anak dan orangtua. Aku sangat iri. Tapi bibi selalu bilang padaku. "Bersyukur dengan kondisi yang kamu miliki, seperti apa pun itu harus bersyukur. Insyaallah aden akan selalu merasa bahagia," kata-kata yang akan selalu aku ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Bersamanya
Novela JuvenilAku merasakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Bagiku saat-saat bersamanya sudah sangat membuatku bahagia. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, merasakan sentuhannya. Andai saja, aku bisa me...