Aku sangat gugup, sangat gugup! Hari ini aku harus berdiri di depan kelas dan menyanyikan satu lagu. Tahu kan seperti apa rasanya, kenapa harus aku? Jika bisa, aku lebih memilih menghilang dari pandangan mereka. Semua mata tertuju padaku saat diriku berdiri di depan papan tulis dan menghadap mereka. Semua mata termaksud Reina.
Ini semua terjadi karena kesalahan seseorang dan aku harus menutupinya. Alhasil aku yang menerima hukuman ini. Dan orang yang seharusnya berada di sini hanya bisa melihatku sambil cengar-cengir. Merasa tidak ada salah dia! Ingin rasanya aku tarik kupingnya dan berteriak. "Roman!!,"
Mau tidak mau aku harus bernyanyi di depan semua teman kelasku. Agar bisa cepat kembali ke kursi, ku mulai bernyanyi dengan cepat. Aku bisa melihat wajah Roman yang menahan tawa dan Reina yang ikut bernyanyi, serentak semua yang ada di dalam ruangan ini ikut bernyanyi bersamaku. Sedikit lega rasanya, karena aku tidak harus bernyanyi dengan keras.
Seusai bernyanyi, aku berjalan menuju kursi yang ada paling belakang. Berjalan dengan wajah datar, merasa tidak pernah terjadi apa-apa. Walau dada terasa deg-degan menahan malu. Seumur aku belajar di bawah langit, aku tidak pernah melakukan hal ini. Hukuman? Ini yang pertama kali aku alami!
"Hey, kawan. Terima kasih karena sudah melakukannya demi gua," Roman berbisik pelan.
"Intinya nanti istirahat traktir gua makan!" ucapku seraya duduk di kursi.
"Siap! Gua lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan harga diri. Bernyanyi di depan kelas? Itu bukanlah Roman!" katanya dengan tegas sambil melipat tangan di dada.
"Terserah!" sahutku, aku menoleh ke kiri, dan mendapati Pak Agus yang sedang senam pagi. Melihatnya membuatku senyum-senyum sendiri.
Semua rasa kesalku hilang setelah aku melihat Pak Agus senam pagi, beliau bahkan menari poco-poco. Hilangnya rasa kesal karena hukuman tadi, membuatku jadi kembali semangat dan fokus memperhatikan pelajaran.
Beberapa hari sudah berlalu. Aku, Roman, dan Reina mulai akrab. Kami selalu bertiga, kemana-mana pasti bertiga. Bahkan kedekatan Roman dan Reina sebagai sahabat membuat Rina cemburu. Rina adalah pacar Roman, mereka sudah pacaran dari kelas satu. Selama itulah mereka pacaran dan selama itu juga aku sudah gonta-ganti pacar, sudah lima kali lebih tepatnya. Diriku bukan seorang playboy, bukan! Hanya saja ku masih belum menemukan wanita yang cocok berada di dekatku. Itu sebabnya aku sudah banyak mendekati wanita, tetap saja tidak ada yang cocok! Bahkan sempat ku berpikir untuk tidak pacaran dulu, sempat sih. Tapi saat kedatangan Reina aku merasa ingin mencobanya lagi. Persoalannya adalah, diriku takut Reina akan ngejauh jika ku mengatakan perasaan ini. Karena kami sudah terikat oleh ikatan yang disebut sahabat. Mungkin aku akan tetap menjaga persahabatan ini, mungkin!
Kini posisi aku dan Roman terpisah satu jarak saat sedang jam istirahat. Karena Reina selalu berada di tengah kami. Di bawah pohon yang selalu menjadi tempat aku dan Roman makan bersama, pohon ini bisa jadi saksi bisu tentang apa saja yang aku lakukan bersama Roman. Tapi kini sang pohon harus memantau satu gadis diantara kami.
"Roy akan memakan yang itu?" tanya Reina sambil menunjuk sosis milikku.
"Ambil saja jika kamu mau," ucapku sembari menyuap bakso goreng.
"Hey, gua boleh minta cirengnya?" tanya Roman, seraya mengangkat garpunya untuk menusuk cireng milikku.
Dengan cepat, aku menjauhkan bekalku dari jarak tusukan garpunya. "Lu bahkan belum traktir gua. Jadi, enggak boleh!" ucapku dengan tatapan sinis.
"Gua enggak bawa uang lebih, Roy," dengan wajah sedih Roman menaruh garpunya di bekal miliknya.
"Gituh aja nangis, dasar cengeng!" kataku sambil menaruh cireng di bekal Roman.
Reina hanya bisa tertawa melihat tingkah laku kami. Entah kenapa saat Reina tertawa pandanganku tidak pernah bisa berpaling darinya, senyuman manisnya selalu menarik perhatianku. Reina adalah wanita pertama yang bisa membuatku merasa nyaman di dekatnya, bahagia saat melihatnya, dan rindu saat tidak bersamanya. Mungkin memang benar, aku telah jatuh cinta kepada Reina.
Seusai makan bersama, Reina mengajak untuk pergi ke atap sekolah. Aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Hanya ada aku dan Reina, Roman pergi menemui Rina, beberapa murid yang tadi berada di sini kembali turun satu-persatu. Reina hanya berdiri, terdiam, tanpa berkata apa-apa. Dia hanya memandang langit dan pemandangan kota.
"Apa yang mau kamu lakukan di sini?" tanyaku seraya berjalan mendekati Reina.
"Aku hanya ingin melihat pemandangan kota," jawabnya tanpa menengok ke arahku.
"Memangnya kamu jarang melihat yang seperti ini?" tanyaku lagi sambil berdiri di belakangnya.
"Entahlah."
"Kamu enggak apa-apa, Rei?"
"Aku boleh minta tolong?" ucap Reina sambil membentangkan ke dua tangannya.
"Tolong apa?"
"Aku suka sama Alex, mau enggak bantuin aku jadian sama dia?" ucap Reina seraya berbalik dan menatapku dengan senyumannya.
Aku hanya terdiam, terpaku, bahkan aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Alex! Kenapa harus Alex? Dia kapten tim sepak bola sekolah ini, aku memang sedikit dekat dengannya karena kami satu tim. Tapi kenapa harus Alex? Dan kenapa harus aku? Kenapa aku yang harus membantu mereka jadian? Kenapa! Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku. Aku tidak tahu harus jawab apa, aku hanya diam. Sampai Reina menepuk pundakku, kembali aku ke dunia nyata.
"Alex? Kenapa kamu suka sama Alex?" Hanya itu ucapan pertamaku setelah tidak sadarkan diri beberapa saat.
"Karena dia baik! Waktu Awal aku datang ke sekolah ini, dia yang membantuku menemukan kantor, dia juga mengajakku makan siang. Kami ngobrol dan bercanda bersama, walau sebentar aku bahagia. Entahlah, mungkin aku suka pada pandangan pertama," ucapnya, blak-blakan seakan tidak memikirkan perasaanku. Aku yang bodoh, jelas sekali kami hanya sahabat, bodoh kau Roy!
"Kenapa harus aku?"
"Karena kamu satu tim dengannya, hanya kamu dan Roman sahabatku di sekolah ini. Enggak mungkin aku minta tolong sama Roman," ucapnya seraya mendekatiku.
Aku membuang pandangan ke kanan, berharap tidak melihat mata Reina. "Tapi aku enggak akrab sama dia."
"Aku mohon!" Reina teriak dan menggenggam tanganku.
"Baiklah," ucapku yang masih menengok ke kanan.
"Sungguh? Terima kasih, Roy!" ucap Reina sambil memelukku.
"Iya."
"Bel sudah berbunyi, ayo kita ke kelas," ajak Reina sambil menarik tanganku.
"Maaf, aku harus ketemu Pak Azwa."
"Yaudah aku tunggu di kelas," ucapnya seraya berlari dan melambaikan tangan.
Teriak! Rasanya aku ingin teriak! Dan melompat dari atap ini. Alex! Kenapa harus Alex? Apa karena dia kapten? Dia tampan? Dia idola? Aaagghhhhh! Kenapa harus aku! Kenapa? Aku hanya bisa duduk menyender ke pagar pembatas yang ada di atap sekolah. Bahkan aku tidak punya tenaga untuk berjalan dari posisi ini. Ngedrop, nyesek, dadaku terasa sakit. Mungkin orang lain akan berkata ini berlebihan. Tapi memang ini yang ku rasakan. Setelah kembali ke kelas aku hanya bisa terdiam, tidak mendengar penjelasan guru, hanya melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong. Masih berpikir tentang apa yang aku dengar, tidak percaya bahwa itu semua keluar dari mulut Reina. Diriku jatuh cinta kepada seseorang yang mencintai orang lain, sedikit ironis memang. Tapi ini yang terjadi kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Bersamanya
Teen FictionAku merasakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Bagiku saat-saat bersamanya sudah sangat membuatku bahagia. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, merasakan sentuhannya. Andai saja, aku bisa me...