"Dia!" teriakku yang sontak menarik perhatian semua penghuni kelas.
"Kenapa?" tanya temanku yang duduk di sebelahku.
"Enggak," jawabku sambil menoleh ke kiri dan melihat halaman sekolah di balik jendela kelas. Aku selalu memperhatikan Pak Agus--penjaga gerbang sekolah atau sering disebut satpam--Pak Agus selalu senang setiap kali ada murid yang terlambat, karena beliau selalu memghukum mereka. Seperti yang sedang aku lihat saat ini.
Aku tak tahu kenapa bisa berteriak seperti itu. Yang pasti aku sangat malu, karena semua teman melihatku secara bersamaan. Aku terus memandang ke luar jendela, tanpa melihat murid itu yang sedang memperkenalkan dirinya.
Saat guru menjelaskan pelajaran hari ini, aku bahkan tak memperhatikannya. Yang aku perhatikan hanya gadis itu. Sesekali aku meliriknya yang duduk tidak jauh dari pandanganku--lebih tepatnya dia duduk di bangku serong kananku--posisi yang sempurna. Aku terus meliriknya, sampai seseorang yang berada di sebelah kananku berdeham dan memanggilnya. Secepat larinya flash, aku membuang pandanganku ke kiri. Tidak ingin dia tahu kalau aku memandanginya.
Jam istirahat berbunyi dan semua penghuni kelas mulai melakukan kegiatan individu mereka: pergi ke kantin, membuat grup gosip, membaca kembali pelajaran yang tadi, ada beberapa murid yang tidur, dan beberapa mengerumungi murid yang baru pindah tadi. Aku dan temanku pergi ke taman sekolah sambil membawa bekal kami. Seperti biasa, kami selalu duduk di bawah pohon besar yang berada di sudut taman sekolah. Dengan beberapa bunga yang tumbuh di sekitar pohon besar ini, ditambah pemandangan dari beberapa murid yang sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler di lapangan sekolah, juga sebagian murid yang sedang duduk di bawah pohon ini. ada juga hal unik yang ada di pohon ini; beberapa ukiran nama dan tanggal jadian setiap murid di sekolah ini.
"Bagaimana?" tanya temanku sambil membuka bekalnya.
"Maksudnya?" balasku balik bertanya.
"Gadis tadi. Murid pindahan maksudku."
"Kenapa dia?" tanyaku lagi seraya menyantap bekal milikku.
"Lu suka 'kan sama dia?" tanyanya, sontak membuatku tersedak dan batuk-batuk. "Nih minum," sambungnya.
"Gua gantung terbalik di pohon, mau?!" ucapku dengan cetus.
"Dia kan cantik, kulitnya mulus dan bening, memiliki mata yang indah berwarna hitam pekat, rambut short dengan warna cokelat keemasan, tubuhnya lumanyanlah. Dia juga smart dan baik, kayanya."
"Roman! Hentikan," ucapku dengan nada sedikit kesal.
"Okeh," sahutnya sambil memakan bekalnya lagi.
"Gua enggak tertarik sama dia," ucapku.
Roman hanya melirik ke arahku dan berkata. "Enggak tertarik tapi ngelirik dia terus pas pelajaran tadi."
Aku hanya terdiam tanpa berkata apa pun. Tak ingin topik ini panjang, aku mengalihkan pembicaraan ke arah lain, membicarakan game misalnya. Temanku menanggapinya. Kami lanjut membicarakan tentang game yang sering kami mainkan.
Selesai makan, aku kembali ke kelas. Seperti biasa, Roman selalu pergi ke kelas lain untuk menemui kekasih tersayangnya. Saat sampai di depan kelas aku hampir menabrak seseorang. Dia murid yang baru pindah hari ini.
"Maaf," ucapku sambil menunduk.
"Aku yang salah, maaf yaa," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tetap menundukan kepalaku. Sekali aku melirikan pandanganku ke arah senyumannya; senyuman yang cukup manis dengan lesung pipi di kedua sisinya. Tidak ingin dia menyadarinya, aku langsung berjalan menuju bangku yang berada di sudut kiri kelas. Aku kembali melihatnya sebentar, sebelum aku mengalihkan pandanganku ke arah luar jendela seperti biasa.
Beberapa menit aku melamun, guru datang seiring berbunyinya bel sekolah. Disusul beberapa murid di belakangnya.
"Untuk, Riyo. Kamu di panggil Pak Azwa di kantor," ucap Bu Meli sebelum memulai pelajarannya.
"Iya, bu," sahutku yang kemudian meninggalkan kelas dan menuju kantor.
Pak Azwa selalu menyuruhku ke kantor untuk menanyakan tentang masa depanku, tepatnya apa yang akan aku lakukan setelah lulus nanti. Aku masih belum bisa menentukan masa depanku. Jika kalian menyarankan untuk bertanya kepada orangtua ku. Lupakan saja, Karena mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak pernah ada waktu untukku. Pak Azwa menyarankan untuk lanjut kuliah. Tapi, aku tidak tahu jurusan apa yang harus aku pilih di universitas.
Pak Azwa merekomendasikan untuk mengambil jurusan DKV new media. Karena jurusan itu berhubungan dengan hobi dan keahlianku; memainkan kamera atau sering disebut Fotografer. Itu juga termasuk cita-cita yang ingin aku gapai.
Ada satu masalah yang aku miliki. Ayahku tidak setuju dengan cita-cita itu. Dia lebih ingin aku meneruskan perusahaannya. Ibuku juga begitu. Ayah dan ibu memiliki perusahaan masing-masing, dan saat mereka memaksaku untuk meneruskan perusahaan mereka. Saat itulah mereka selalu bertengkar. Aku terlahir di keluarga yang cukup kaya menurut orang-orang, tapi semua itu tidak berarti bagiku. Percayalah, uang tidak membuatku bahagia sama sekali, karena yang aku butuhkan kasih sayang keluarga bukan harta atau status keluarga.
Kembali ke soal masa depan. Mungkin aku akan mengikuti saran Pak Azwa, walau harus menentang keluarga. Tapi itu cita-cita yang aku miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Bersamanya
Teen FictionAku merasakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Bagiku saat-saat bersamanya sudah sangat membuatku bahagia. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, merasakan sentuhannya. Andai saja, aku bisa me...