💫Dua

8.6K 649 84
                                    

Laessa menggeliat, matanya memicing. Buru-buru ia tutupi wajahnya dengan bantal. Sinar mentari tepat menerpa wajahnya-yang menembus kaca dari tirai jendela yang sudah disibak, dibuka lebar. Pasti ulah nenek, gumamnya. Ia mengerjap-ngerjap.

"Bangun, Lisa, nanti terlambat!" terdengar suara nenek dari luar.
Laessa mendudukkan badannya, mencoba mengumpulkan nyawa. Mengingat kejadian semalam, di mana dirinya, dan keempat temannya digelandang ke kantor polisi.

Para pak polisi itu sangat kesal, ketika mendapati kenyataan, bahwa; mobil yang tengah mereka kejar-kejar satu jam belakangan hanyalah berisi sekumpulan anak ABG labil yang kurang kerjaan.

Ya, para pak polisi itu mengejar mereka, karena Laessa dan teman-temannya kabur dengan kecepatan tinggi malam itu, hingga mengundang tanya dan curiga. Prediksi mereka, Laessa dan teman-temannya adalah; kemungkinan buron, pengedar narkoba, mafia, tenaga kerja ilegal dan sejenisnya.

Pak polisi yang kesal kemudian menelepon orang tua mereka masing-masing untuk dijemput. Bersyukurnya Laessa, ia tak perlu mati ketakutan seperti teman-temannya. Ia tak punya ibu yang menungguinya di rumah dan tak punya Ayah yang siap menghardiknya pulang malam.

Pukul dua dini hari. Laessa akhirnya diantar pulang dengan mobil jip seorang polisi. Laessa mengaku ia hanya punya nenek tua di rumah-yang tak mungkin menjemputnya.

Nenek tidak memarahinya. Laessa yakin itu. Neneknya Juriah sangat sayang dan percaya pada Laessa. Meskipun bandel, Laessa adalah anak yang tahu batasan. Ia anak yang bertanggung jawab dengan segala sikap dan tindakannya–setidaknya, itulah yang dipahami nenek dan Laessa sendiri. Laessa sudah tentu tidak akan mau membuat nenek sedih sebab ulahnya.

Dengan gontai, Laessa berjalan menuju gerbang sekolah. Sungguh, efek nggak tidur rupanya bisa sedemikian ini. Kepalanya kini terasa sakit, karena hanya sempat terlelap beberapa waktu saja.

Laessa tahu ia sudah terlambat. Harusnya ia berlari saja 'kan? Tapi Laessa orangnya emang bodo amat. Kalo sudah terlambat, ya terlambat saja, begitu pikirnya.

Label sebagai murid berprestasi dengan sederet piala dan piagam di rumahnya, tidak serta merta membuatnya merasa harus memberikan keteladanan untuk orang lain. Buat apa, coba! begitu protesnya selalu ketika ada yang protes dengan sikapnya yang cuek dan semau-maunya itu.

Setelah memelas pada Pak satpam di pintu gerbang, dan setelah menemui guru BK yang piket pagi itu. Laessa pun diizinkan masuk. Ia beringsut bak siput di koridor menuju kelas. Mood-nya betul-betul buruk. Kejadian di kantor polisi masih saja memenuhi pikirannya.

Sebetulnya hari ini adalah hari pertama Laessa masuk kelas dua belas-yang artinya; kemungkinan teman-teman sekelasnya di kelas sebelas kemarin, sudah berganti.

Sungguh! Laessa belum melihat nama-nama itu–nama orang-orang yang berada di kelasnya. Ia hanya diberi tahu oleh Mona bahwa mereka berdua sekelas. Itu saja. Dan ia sudah berpesan kepada Mona untuk mem-booking kursi paling depan.

Sebagai seorang yang merasa paling peduli terhadap masa depan seibukota, posisi duduk adalah hal penting dan tak bisa ditawar-tawar.

Dari luar Laessa sudah dengar suara Pak Tomo-guru Bahasa Indonesia, yang telah mulai memanggil, mengabsensi satu per satu.

Leassa pun mengetuk pintu meminta ijin masuk. Setelah sedikit diceramahi Pak Tomo--yang hanya seperti kaset kusut di telinganya, akhirnya Laessa diijinkan masuk jua.

Betapa terkejutnya Laessa ketika mendapati Mona malah menunjuk kursi di sisinya. Letaknya tiga baris dari belakang. Yang benar saja! Seumur-umur Laessa tak pernah sudi duduk di belakang!

Dicari, Seorang Mahram (Rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang