Lamunanku buyar saat seseorang di luar sana tampak melambaikan tangannya ke arahku. Dari lantai atas kamar, masih bisa kulihat jelas siapa orang itu. Lelaki bertubuh jangkung dengan pakaian bermode necisnya, terlihat keren meskipun di lingkungan sehari-harinya. Kini ia memakai setelan celana sarung, dipadu dengan jaket coklatnya. Payung besar berdesain warna-warni memayungi tubuhnya. Dan kulihat ia membawa sebuah kantong keresek putih.
Buru-buru aku menyambar jilbab biru sekenanya di pinggiran ranjang. Lalu kembali memeriksa jendela. Lelaki itu tampak memberi isyarat supaya aku turun. Aku tersenyum, mengangguk.
Kak Arsyad, selalu saja muncul tak terduga. Ia adalah tetangga dekatku, hanya dilewati dua ruumah dari arah sebelah selatan. Selain itu ia juga Kakak kelasku di SMA Dwi Bakti dan kami berbeda dua tahun lebih dulu. Maka tak perlu aneh saat orang lain melihat kedekatan kami. Dulu saat ia masih sekolah, kami sering berangkat dan pulang bareng, baik itu berjalan kaki ataupun memakai sepeda. Ia juga sering main di rumahku, kapanpun ia mau. Sampai-sampai ia begitu dekat dengan Ibuku. Pokoknya menurutku ia itu tak ubahnya Kakak kandungku sendiri, yang selalu menjaga dan membantu kapan saja. Apalagi pembawaannya yang selalu seru, euh, jadi tambah heboh kalau mengobrol dengannya. Oh ya, satu lagi terkadang ia juga tidur di rumahku sampai subuh. Bayangkan! Menarik bukan, kalau sudah begini Ibuku yang langsung bertindak.
Aku membuka pintu depan. Rupanya ia sudah berteduh di teras. Lantas ia langsung saja duduk di kursi dan menaruh bawaannya di atas meja bundar.
"Ngapain hujan-hujan begini main?" tanyaku pura-pura kesal atas kedatangannya. Dalam hati justru senang, ia bisa menjadi bahan hiburan.
"Siapa yang mau main, geer," jawabnya sok merasa menang. Lalu membuka isi kantong kreseknya. Yang ternyata berisi dua buah cangkir kopi panas dan beberapa buah gorengan.
"Terus, kok kesini?"
"Mau bagi-bagi rejeki. Mau nggak? Mumpung baik nih," katanya sambil mulai menyantap gorengan dan menyeruput secangkir kopinya, "uh... hangat. Coba deh, enak loh."
Aku tak perlu gengsi jika berada di depannya, maka secangkir kopi satunya aku ambil dan menyesap halus, tak lupa mencomot gorengan yang masih mengepul.
"Tahu aja sih. Dingin-dingin begini, cocok banget makan-minum kayak beginian. Hmm...," celotehku santai.
"Enak ya, nggak gratis loh."
Aku berhenti mengunyah, "Apa? Jadi bayar nih. Nggak jadi deh," aku hendak mengeluarkan isi makanan di mulutku. Ia langsung mencegah dan terkekeh.
"Hahah... nggak lah, just kidding. Its Ok, special for you. Silahkah, disantap gratis."
Aku tersenyum sambil memukul pelan lengannya, "gitu dong. Sering-sering ya, Kak, hehe...," kemudian kembali meneruskan menyantap gorengan serta menyesap secangkir kopi capucino kesukaaanku, ia hafal apa yang kusuka.
Untuk beberapa menit berikutnya kami di liputi keheningan. Hanya mulut kami yang tampak berisik mengunyah serta guyuran air hujan yang masih jelas terasa, menguapkan hawa dingin menusuk kulit.
"Jadi bener nih, mau kuliah di Jogja?" tanyanya kembali membuka pembicaraan.
"Iya lah, nggak percaya?" jawabku mengerutkan kening.
Ia mengangguk, "Oh, jadi ceritanya kangen nih sama aku. Terus biar bisa berangkat dan pulang bareng juga kuliahnya. Hayo!" katanya tersenyum jail, ah, kebiasaan. Ia suka menggodaku. Aku langsung cemberut tak terima.
"Ih, siapa lagi yang kangen. Nggak ya. Hei, perlu Kakak tahu ya, dari dulu aku memang sudah berencana kuliah di Jogja. Jadi, mungkin saja Kakak yang ikut-ikutan," sangkalku tak mau kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam Dibalik Hujan
Teen Fiction(Part complete) Allah, maaf. Aku benci hujan. Bukan karena menolak keberkahan rezeki yang Engkau turunkan. Bukan pula menolak takdir yang sudah tergariskan. Sebab bukankah hujan ialah sumber kehidupan? Segala rezeki dan kehidupan tentram bermuara ka...