Sebenarnya kalau ada yang bertanya tentang perasaanku terhadap Kak Arsyad, akan kujawab; tidak lebih dari rasa suka, nyaman dan senang terhadap Kakak sendiri. Dari dulu, hingga sekarang? Entahlah, aku tak tahu. Meskipun terkadang, di waktu-waktu tertentu saat bersamanya aku merasakan perasaan yang berbeda. Entah apa, lagi-lagi aku tak paham dan tak berani berterus terang. Yang pasti ada sensasi luar biasa seiring degup jantung berpacu lebih cepat dari batas normal. Lalu, fikiranku menjadi kacau, tak keruan.
Di hari-hari selanjutnya, sampai kami kembali aktif ngampus. Hubunganku dengan lelaki jangkung bak seorang model majalah itu masih seperti biasanya. Tidak ada yang perlu di lebih-lebihkan. Justru aku sangat membutuhkannya dalam membantu mengerjakan tugas-tugas kampus. Seperti dulu saat jaman SMA. Terkadang aku merusak kesibukannya, ditambah lagi ia berkerja juga dalam dunia jurnalistiknya. Tapi sama sekali ia tak menunjukkan sikap risih padaku, malah senang dan enjoy saja. Sosok seorang Kakak dalam dirinya benar-benar muncul, yang selalu membimbing, mengarahkan dan membantu.
Dan yang paling urgen ialah pas aku tengah di kejar-kejar tugas membuat artikel. Euh, berkali-kali karyaku di coret-coret Si Dosen. Aku tidak tahan kan. Maka alternatifnya ialah mendatangi Kak Arsyad, berguru padanya. Lelaki itu menyambut amat antusias.
"Ok. Sekarang kamu coba buat artikel sebisa kamu dulu. Jangan lupa referensinya yang kuat," katanya mengarahkan.
"Siap, Pak."
Satu kali, dua, tiga sampai kelima kali, naskah artikelku ia coret-coret seenaknya. Padahal baru baca beberapa kalimat. Dan aku ngebela-belain mendatangi kelas ngampusnya, kerjanya, waktu santainya demi sebuah naskah pembelajaran. Baik, aku harus sabar. Tapi terkadang geram mendengar omelannya yang terdengar menyebalkan. Diantara komentarnya ialah:
"Ah, artikel apaan ini? plagiat!"
"Kamu buat karya ilmiah, apa bikin status? Menebang pohon kok pakai silet. Ulang, diulang!"
"Mana referensinya, ha? Jangan asal nulis ya, ini bukan curhatan atau semacam karya fiksi. Revisi! Judulnya juga nggak menarik."
"Di bilangin, buatlah artikel sesuai kemampuan kamu. Yang penting sesuai aturan, EYD dan ketentuan lainnya. Jangan malah ikut-ikutan ingin keren sepertu karya orang lain."
Dan berbagai ocehan sengit lainnya. Sungguh menyakitkan. Kalau saja ia bukan orang profesional atau orang yang kusegani. Euh, sudah aku tonjok tuh muka. Mana perhatian lembutnya coba? Jahat banget. Jauh sekali dari sosok romantis, lembut, perhatiannya selama ini.
Meski begitu, aku tidak boleh menyerah. Ini tantangan. Bukankah bisa itu, karena sudah biasa dan usai mempelajari beribu kesalahan saat terjatuh. Aku harus yakin, pasti lama-lama akan lebih baik. Terlebih berguru pada orang yang sudah profesional dalam ahlinya. Meski terkadang harus mengubur dalam-dalam, kegeraman saat ia mengoceh menyakitkan.
Dan endingnya sungguh membahagiakan. Artikelku menembus koran, juga terbaik ke dua dari sekian banyak mahasiswa di kampus, pada mata kuliah tersebut. Benar-benar membanggakan. Memang tidak sia-sia, usai tertatih-berlumuran darah, belajar padanya.
"Keren, Kakak suka karyamu yang ini. Benarkan, jangan pernah berputus asa. Mencapai puncak tertinggi saat mendaki gunungpun. Pasti melalui start awal, rintangan di tengah jalan dan berbagai kesalahan lainnya. Endingnya pasti akan membahagiakan, sesuai harapan. Dua kunci, yang penting niat dan action. Ok? Jangan kapok ya. Hehe...," ujar Kak Arsyad waktu itu, usai aku menunjukkan padanya hasil karyaku masuk koran.
"Ok. Tapi jangan galak-galak dong," tawarku.
"Lha, segitu masih standar kok. Mau yang lebih galak? Haha."
Untuk sejenak aku melupakan moment-moment saat itu, saat bersamanya. Sebuah moment yang nyaris membuat jantungku berdebar tak keruan. Ya, saat senja di punggung jalan Malioboro.
Berikutnya aku justru tertarik pada sosok lelaki yang dulu pernah membuat luka, memutus hubungan begitu saja. Tanpa kejelasan yang dapat memperbaik masalah. Raka namanya.
Tatkala aku buka Instagramnya, kembali aku dibuat terkejut. Benar, ternyata kini ia terkenal. Semacam menjadi motivator dalam acara para remaja. Terbukti dari foto-fotonya, komentar fansnya dan masih banyak lagi sebagai bukti kuat bahwa kini ia bukan Raka yang dulu lagi. Dari penampilannya pun sudah layak dikatakan sebagai tokoh terkenal.
Namun mengapa aku baru tahu? Aku mencoba bertanya kepada teman sekelasku, Kania namanya. Ia adalah perempuan berhijab modern, up to date dan aktivis. Ya,bertanya tentang sosok Raka. Aku pura-pura baru tahu.
"So what? Vivi, please deh, kamu kemana aja? Kamu nggak tahu siapa dia, si ganteng itu? Aduhh...," kata Kania berekspresi terkejut dan tak percaya.
Aku nyengir, "Hehe, iya. Maka dari itu aku nanya. Jelasin dong yang kamu tahu."
"Ok. Aku mau jelasin. Tapi kamu jangan sampai nyalahin aku, kalau selanjutnya kamu bakal naksir dia. Karena dia itu, euuuhh... keren banget. Cowok idaman masa kini. Oh, hoho... Oppa Song Jong Ki kalah deeeh," ujarnya malah ngelantur. Gaya lebaynya muncul.
Kemudian ia mulai menjelaskan sesuai yang ia tahu. Panjang lebar, berekspresi berlebihan dan tentu dengan gaya khasnya; tangan tidak bisa diam, raut wajah berekspresi aneh dan logatnya yang lebay. Kania memang kayak gitu orangnya, jadi aku harus wajar. Tapi seru bawaaannya.
Adapun intinya cukup simpel, yakni Raden Raka Subarkah merupakan seorang motivator muda, penghafal qur'an, yang kini tengah naik daun dan digilai banyak kaum hawa. Titik. Ok, finish. Apa yang perlu di pertanyakan lagi coba? Buatku sudah cukup.
Ah, tapi ada. Satu pertanyaan masa lalu yang mengganjal sampai detik ini. Perihal alasannya memintaku memutus berkomunikasi, juga hubungan. Inikah alasannya? Namun aku kurang yakin. Setahuku dari dulu, ia memang siswa terkenal di sekolah, motivator dan diam-diam menghafal al-qur'an. Ah, tidak ada yang spesial kecuali satu, kini ia terkenal.
Tapi mengapa aku kembali mengingatnya, usai kututup rapat-rapat semua tentangnya. Meski begitu, bukankah tetap saja namanya terdaftar dalam catatan hidupku sebagai sosok pembuat luka menyakitkan? Jadi, tak perlu dibahas lagi kan, jika ternyata kini ia jauh dari ekspektasiku selama ini. Perlukah aku menyesal? Kurasa tidak. Ya, benar.
Terus saja, pergolakan batin di hatiku berpacu tak terkendali. Entah bagaimana untuk menyembuhkannya. Aku tak tahu. E, mungkin perlu kuhadirkan lagi sosok lelaki jangkung itu, Kak Arsyad. Hehe, benar bukan?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/158347780-288-k1835.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam Dibalik Hujan
Novela Juvenil(Part complete) Allah, maaf. Aku benci hujan. Bukan karena menolak keberkahan rezeki yang Engkau turunkan. Bukan pula menolak takdir yang sudah tergariskan. Sebab bukankah hujan ialah sumber kehidupan? Segala rezeki dan kehidupan tentram bermuara ka...