Bab 6 Sore Di Malioboro

81 14 3
                                    

Kalau aku boleh jujur, penampilan Kak Arsyad sekarang benar-benar jauh dari ekspektasi. Penampilannya lebih dewasa, rapih, dan pokoknya kalau kau suka menonton drama-drama korea, tak jauh berbeda stylenya dengan para aktor itu. Atau bisa juga menyamai para model lelaki di majalah-majalah. Terbukti di hari-hari berikutnya saat kami kembali bertemu, untuk sekedar mengisi waktu liburan semester. Stylenya masih sama, keren, seperti memakai sepatu bantofel atau sport, kaos rajut menutupi sebagian leher, berbagai gaya jas, sweeter dan masih banyak lagi. Seakan ia memiliki segudang cadangan pakaian untuk dipakai keluar. Aku sempat bertanya padanya, mengapa ia jadi begini.

"Apa ya? Haha... entahlah, tapi keren kan? Kamu suka kan? Aku jadi tambah ganteng kan?" tanyanya balik bertanya. Tak lupa dengan nada dan lirikan mata menggodaku.

Aku kelabakan, "Nggak. Nggak ganteng," jawabku pura-pura.

"Bener nih? Udah ngaku aja. Oh ya, bahkan kalau aku lagi jalan sendiri nih di tempat ramai. Euh, banyak perempuan yang tiba-tiba nempel, ngajak selfie. Hehe," ujar Kak Arsyad sambil tak lupa berlagak so keren.

"Euh, nggak mungkin."

"Ah, kamu nggak percaya? Kamu mau selfie sama aku juga. Hayu sini gratis."

"Haha, apaan sih."

"Haha...,"

Ok! Tak perlu kukejar jawaban pastinya. Yang penting rapih, sopan dan aku suka. Di liburan semester kali ini kami benar-benar menghabiskan waktu bersama. Saling mengunjungi asrama, kampus, tempat kerjanya, tempat-tempat wisata di Jogja. Khususnya ialah bersantai di sepanjang punggung jalan Malioboro, menikmati suasana kota Jogja –malam maupun sore. Kadang aku berdua, bersama temanku atau teman Kak Arsyad. Pokoknya seru deh, seperti waktu itu, ketika kami berdua menikmati hiruk-pikuk suasana sore punggung jalan Malioboro.

"Oh ya, Kak. Aku mau nanya lagi," kataku sambil sesekali menyantap ice cream strawberry. Kami berjalan santai.

"Ah, nanya mulu kayak wartawan," komentar Kak Arsyad.

"Nggak papa kan, namanya mahasiswi kritis. Perlu di jaman sekarang tuh, iya kan? hehe," belaku kemudian. Lalu melanjutkan, tak peduli reaksi selanjutnya, "penampilan Kakak kan udah keren gini nih. Sebenarnya udah punya pacar belum?" godaku tak mau kalah, sebab biasanya ia yang suka duluan menggodaku.

"Emang kenapa kalau belum punya pacar? Vivi mau daftar?" Kak Arsyad malah balik bertanya, menjailiku. Ah, aku kalah nih kalau urusan semacam ini. Dan kok aku jadi gugup. Terlebih saat ia pura-pura mendekatiku semakin rapat. Aku sedikit menjauh, berjalan agak cepat di depannya.

"Lha, aku nggak bilang begitu," jawabku sekenanya.

"Haha, tapi diam-diam mau kan, pacaran sama laki-laki seganteng Kakak. Hayo ngaku?"

"Ah, Kak Arsyad kebiasaan, selalu saja jahil. Ih, udah ah, serius nih," ujarku pura-pura kesal, menunjukkan ekspresi cemberut. Meski sebenarnya aku tertawa, entah karena apa.

Kak Arsyad tertawa lepas, "Haha, ok-ok! Sekarang serius deh. Ya, karena nggak mau aja. Lebih suka main-main,"

Keningku mengkerut dan berhenti melangkah, memperhatikannya terkejut, "Apa? Lebih suka main-main? Wah, Kak Arsyad jahat ternyata. Parah nih, berarti sama aku juga main-main? Astaghfirullah...," ujarku geleng-geleng kepala. Lalu berjalan lebih cepat darinya.

Ia mengelak, menyusulku sambil beroceh berusaha meluruskan. Tapi aku aku terus saja menggeleng, seolah merasa syok atas ucapannya, "Ya, ya maksudnya aku... aku, ah, Yang nggak seburuk itu lah. Kayak para playboy gitu? Nggak lah. Aku kan orang baik."

Aku kembaili meliriknya dan menggeleng, "Wah, waaah... nggak percaya aku selama ini, ternyata... ternyata. Waah...," dalam hati aku tertawa. Ah, kali ini kayaknya aku yang menang. Aku duduk di bangku panjang sambil menyantap ice cream yang tinggal setengahnya.

Ia ikut duduk, sedikit menghadap ke sampingku, "Ok-ok, sekarang gimana nih. Vivi maunya yang serius?" tanyanya kemudian dan sontak membuatku terpaku. Memperhatikannya beberapa saat, seperti mencari maksud dari pertanyaannya barusan. Tapi Kak Arsyad malah mengangkat kedua alis dan tersenyum samar.

"Maksudnya?"

"Ya, ya...,"

Kupotong cepat ucapannya seraya langsung berdiri hendak melanjutkan berjalan, "Ok-ok, aku paham. Ah, nggak usah di bahas deh. Ya ya, Kak"

Lalu kami diliputi diam. Kak Arsyad berjalan di belakangku, seperti merasa bersalah terhadap pertanyaan terakhirnya itu. Sementara aku berjalan di depannya lebih cepat, fikiranku kacau, entah tengah berkelakar kemana. Dan kau tak perlu bertanya bagaiman reaksi degup jantungku selanjunya. Aku tak mau menjawabnya. Yang pasti terasa begitu cepat dari biasanya. Karena saking kalutnya, aku tak sadar bahwa langkahku terlalu berlebihan hingga tak memperhatikan keadaan sekitar. Terlebih semburat orange di ufuk barat yang semakin tergantikan oleh kegelapan.

Untung Kak Arsyad segera memanggilku, "Hei, Vivi. Kamu mau kemana? Masjidnya disana, kok lurus?"

Aku menoleh, masih gugup, "Oh, eh. Iya, lupa."

Kak Arsyad tertawa kecil seperti mengejek akan kekonyolanku. Tapi aku buru-buru menundukkan kepala, berjalan mengekor di belakangnya.

"Ayo, lebih cepat. Keburu maghrib," katanya.

"Iya," hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Seiring perasaan yang tak biasa timbul tenggelam. Ah, aku harus bersikap bagaimana setelah ini?

"Tenang Vivi. Tenang! Please, lupakan, lupakan. Ok," batinku dalam hati mencoba menenangkan sambil menarik nafas panjang, lagi dan lagi.

***

Pelangi Hitam Dibalik HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang