Sore itu, sepulang kuliah fikiranku kacau. Usai mengetahui fakta kebenaran yang terjadi tentang Raka, serta menunjukkan bahwa semua alasan Kak Arsyad itu tidak adanya kebohongan. Rasa bersalahku, kesalku pada diri sendiri semakin berlipat-lipat. Ada keinginan kuat sekali, ingin segera bertemu dengannya, melihat wajahnya, senyumnya, tawanya, ah, pokoknya segalanya dari sosok lelaki jangkung itu. Pendek kata ialah aku sangat merindukannya.
Bayang-bayang Raka sudah lenyap tak terbekas. Tak peduli bagaimana sikapnya sekarang, atau kehebatannya sekarang sampai mampu menjadi sosok terkenal, ya, motivator muda yang digilai kaum hawa. Aku tahu itu dari Kania, teman sekelas di kampusku. Sungguh aku tak peduli. Lagi-lagi kukatakan hanya nama Muhammad Arsyad Ibrahim yang menghantui kepalaku dan menggelayut manja di pelupuk mata.
Dan tatkala aku mengingat kembali kejadian itu. Saat aku marah besar padanya di mobil, membiarkannya berperang dingin dengan hujan kala malam itu –ia datang ke ruma, juga semua telepon dan pesannya aku abaikan. Sampai sekarang, aku memutuskan lost kontak dengannya. Terasa sakit sekali, bodohnya aku melakukan hal dengan gegabah. Tidak bisa kubayangkan betapa sakitnya ia, betapa sedihnya ia, betapa merasa bersalahnya ia, karena aku.
Maka selama jam kuliah tadi jiwaku seakan kosong. Bagai mayat hidup. Kania sampai khawatir, mungkin melihatku terduduk lesu dengan pandangan kosong.
"Vivi, kamu sakit?" tanyanya cemas sambil menyentuh keningku.
Aku menggeleng lemah.
"Kamu pulang aja ya. Aku nanti minta izin ke dosen. Yuk aku antar," pintanya sedikit memaksa karena khawatir.
"Nggak usah. Aku nggak sakit kok. Aku baik-baik saja. Cuma lagi sedikit malas saja."
Sampai jam kuliah berakhir, sekitar pukul setengah lima sore. Kania mengajak aku ikut dengannya naik motor. Aku menolak. Teman-temanku juga memintaku untuk ikut nebeng. Kekeuh aku tidak mau, aku lebih memilih naik Bus dan beralasan sedang ingin sendiri.
Selama perjalanan menaiki Bus itu aku diselimuti oleh diam. Hanya menatap ke luar jendela, juga ke langit yang semakin menggelap di penuhi awan hitam. Rintik hujan mulai terasa bertebaran, sudah tidak lama lagi hujan pasti akan kembali mengguyur kota Jogja. Saat ini memang sedang musim penghujan, wajar tak kenal waktu dan keadaan.
Aku mencoba menelepon nomer Kak Arsyad, berharap ia mengangkat teleponku. Lalu aku hendak memintanya bertemu. Aku menyeka air mataku yang mulai menganak sungai. Beberapa detik kemudian aku menghela nafas berat. Nomornya tidak aktif.
Kucoba mengirim pesan padanya.
"Kak Arsyad, hai."
"Kakak dimana?"
"Mengapa ponselnya tak aktif."
"Kak, aku mau bertemu. Sekarang ada waktu?"
"Kak Arsyad, maaf."
"Kak...,"
"Ar...,"
"Syad...,"
Hanya terkirim. Sampai aku turun dari Bus dan berjalan lunglai menuju asramaku. Tetap tak ada tanda-tanda akan di balas ataupun di read. Kucoba mengusir rasa sedih serta rindu dengan melihat foto-fotonya, saat sendirian, lucu, tertawa, bergaya bak model. Juga fotoku bersamanya. Ah, Ya Allah perasaan apa ini? Mengapa tiba-tiba aku sangat merindukannya. Ingin segera bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam Dibalik Hujan
Teen Fiction(Part complete) Allah, maaf. Aku benci hujan. Bukan karena menolak keberkahan rezeki yang Engkau turunkan. Bukan pula menolak takdir yang sudah tergariskan. Sebab bukankah hujan ialah sumber kehidupan? Segala rezeki dan kehidupan tentram bermuara ka...