Sesuai permintaan Raka dulu, ia memutus komunikasi denganku semaunya. Sejujurnya aku sudah agak baikan atas efek dari terjadinya peristiwa memilukan itu. Walaupun masih satu-dua kali ingat padanya, terlebih jika melihat foto-fotonya di ponselku. Yang sampai sekarang enggan aku delete, membiarkan saja teronggok bisu –sebagai oleh-oleh kenangan masa lalu.
Sore itu UAS semesteranku sudah selesai semua. Aku iseng-iseng membuka Instagram dan Facebooknya Raka di laptop. Sambil santai di sebuah cafe tak jauh dari kampus, sendirian. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat banyaknya postingan foto Raka. Ternyata ia amat up to date. Aku jadi semakin penasaran. Aku buka satu persatu foto-foto itu. Benarkah ini Raka? Sungguh ia sangat berbeda. Foto-fotonya kebanyakan di kerubungi orang-orang, seperti tengah berada di sebuah panggung besar dengan banyak penonton. Ada foto saat ia tengah berbicara sendiri, memegang microfone. Ada foto bersama beberapa orang terkenal semacam Ust. Yusuf Mansur, Wirda Masur, Oki Setiana Dewi, Meyda Sefira dan masih banyak lagi. Ada juga yang tampak ia sedang santai di tempat-tempat bagus. Dan follower Instagramnya mencapai sembilan ribuan, berbagai komentar bertebaran tiap kali ia mengupload foto, seperi fansnya gitu.
Aku berhenti, diam. Menyeruput sedikit coffe capucino dinginku. Lalu menatap keluar jendela. Kearah lalu lalang orang-orang, bersama rintik hujan yang mulai terasa hendak membanjiri bumi. Hamparan awan gelap mulai berpencar menutupinya.
Tatapanku entah berkelakar kemana. Yang pasti mengapa terasa timbul-tenggelam bayangan Raka di kepalaku. Dengan sejuta pertanyaan tentangnya, keadaannya dan perubahannya. Aku baru tahu. Inikah alasan mengapa dulu ia memintaku untuk berhenti berkomunikasi? Ah, tapi tidak mungkin. Tidak masuk akal. Ia tidak sesederhana itu.
Sampai aku tengah terduduk di bangku halte –sendirian, menunggu Bus datang. Fikiranku masih melayang-layang. Hujan mulai membungkus kota agal lebat, meninggalkan genangan air di beberapa titik. Beberapa toko di pinggir jalan mulai menutup tirainya.
Lamat-lamat aku tersadar, "Astaghfirullah... Allah, apa yang terngah terjadi denganku? Mengapa aku jadi begini," aku menggeleng keras. Lalu menoleh ke arah utara, fikiranku beralih fokus. Sampai kapan aku harus menunggu bus datang. Apalagi hujan amat begitu deras. Aku mulai cemas. Menghubungi Kezia untuk menjemput. Tidak mungkin. Mencari alternatif kendaraan lain, aku tak terbiasa.
Tapi, semakin aku menunggu lama. Lagi-lagi justru bayangan Raka yang muncul, seperti tengah terduduk di sampingku sambil membawa payung. Ya, beberapa menit saat adegan peristiwa memilukan itu terjadi. Perlahan air mataku menetes satu-satu, begitu saja, tanpa sadar. Aku menatap hujan. Hujan. Ah, aku jadi kembali teringat sosoknya, Raka. Yang kini entah sudah sejauhmana ia bermetamorfosa.
Tanpa sadar aku mengirim pesan pada Kak Arsyad.
"Kak, help me!"
***
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis sesengukan. Entah menangisi apa, aku juga tak paham. Yang pasti seperti percampuran antara rasa sedih, sesal dan berbagai rasa lainnya lagi, yang sulit kutebak.
Tak berapa lama aku menyadari, sebuah mobil merah tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Aku mendongak lemah. Bunyi klaksonnya beberapa kali mencoba mengalahkan bunyi rintik hujan menderas. Kemudian lamat-lamat kulihat pintu mobil sebelah kanan terbuka. Lalu muncul seorang lelaki berpayung hitam. Gaya pakaian lelaki itu amat rapi, cukup memakai jas panjang berwarna gelap yang menutupi tubuhnya dari serangan dingin. Di tambah balutan baju rajut warna gelap juga, hingga menutup sebagian lehernya. Ia lelaki bertubuh jangkung.
Masih berada di tempatnya berdiri. Ia tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangan. Lantas agak berteriak melawan hujan.
"Vivi, hai."
Sejurus aku berdiri, membeku. Seperti tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mata, terhadap sosok lelaki jangkung itu. Kini bukan lagi sosok necis yang biasa ia tunjukan. Bukan lagi sapaan jahil yang selalu ia lakukan. Melainkan lebih dari itu. Jika di perhatika lebih dalam, mungkin ia bisa dikatakan tak ubahnya jelmaan aktor korea di drama-drama, dengan style yang amat menakjubkan.
Aku masih terpaku sampai ia benar-benar berada tepat di depanku.
"Hai, Putri. Apa yang perlu aku bantu?" tanyanya menatapku tajam, seraya mengulurkan telapak tangan kanannya.
Dua berlalu, aku tersadar. Aku menggeleng pelan. Lalu tertawa kecil, menahan tangis yang justru sekarang keluar dengan perasaan berbeda. Mungkin senang. Aku menepis tangannya pelan.
"Apaan sih Kak? Ini benar-benar Kak Arsyad?" tanyaku mencoba memastikan. Sedikit menggoda dengan mengerutkan kening serta tatapan taak percaya.
Ia menggeleng, "Bukan."
"Lantas?"
Kak Arsyad menepuk dadanya, berlagak sok keren, "Naneun Oppa Song Jong Ki. Hehe...," lalu tertawa.
Aku ikut tertawa.
"Ayo. Ikut aku, silahkan masuk!" katanya sambil membuka pintu depan mobil sebelah kiri. Masih dengan gayanya yang berlaga aneh.
"Kemana?" tanyaku sedikit bergerak.
"Keliling dunia. Bersama mobil kerenku ini," jawabnya tersenyum simpul, menepuk sedikit atap mobilnya.
"Ah, aku baru ingat. Inikah yang Kakak persiapkan kalau hendak bertemu denganku?"
Ia mengangguk, "Spesial untuk Sang Putri."
"Apa sih Kak, Sang Purti apaan?"
"Haha...," Kak Arsyad tertawa lepas, hingga terlihat deretan rapih gigi putih.
"Ok. Aku masuk ya," aku masuk ke dalam mobilnya. Tak berapa lama ia menyusul. Duduk di bangku depan satunya –disamping kananku.
"Kamu sudah makan?" tanya Kak Arsyad sambil bersiap-siap, memakai sabuk pengaman. Aku mengikutinya.
"Sudah. Waktu pagi."
"Oke! Berarti, kita makan dulu. Kamu harus mau ya. Kemanapun aku ajak pergi. Karena ini adalah hari spesial. Oh ya sebentar," Kak Arsyad beralih posisi menatapku, ekspresinya aneh.
"Apa?" tanyau heran.
"Kalau sudah begini. Vivi masih kangen aku nggak?" tanyanya tersenyum jahil.
"Udah nggak," jawabku tersenyum, seraya mengarahkan telunjukku ke keningnya, menyuruhnya menjauh.
"Oke. Selamat bersenang-senang, Putri."
"Okee...,"
Mobilnya mulai melaju menembus hujan. Seiring perasaanku yang berubah menjadi lebih baik. Ya, usai lelaki jangkung itu muncul di luar dugaan. Memecah-belah fikiran kalutku karena Raka.
Selama di perjalanan, tak hentinya Kak Arysad bercerita tentangnya, kampusnya dan kesibukannya di dunia kerja. Seperti biasa aku meladeninya antusias. Sesekali aku menatapnya dari samping, agak lama. Lalu perlahan seperti ada letupan tak biasa di lorong hatiku. Berbisik pelan sekali.
"Kak Arsyad, aku suka."
Entah perasaan senang semacam apa yang kini aku rasakan. Yang pasti lebih dari senang biasanya. Aku tak perlu menjawab atau mengorek lebih jauh perasaan ini. Biarlah mengalir bagai air dan biar waktu yang menentukan. Sebab bukankah selalu saja takdir ikut campur dalam tiap lembar peristiwa di kehidupan? Dan manusia cukup menikmatnya, sebagai ungkapan rasa syukur. Tak perlu memandang sebentuk peristiwa apa yang terjadi. Baik ataukah buruk. Allah yang mengatur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam Dibalik Hujan
Novela Juvenil(Part complete) Allah, maaf. Aku benci hujan. Bukan karena menolak keberkahan rezeki yang Engkau turunkan. Bukan pula menolak takdir yang sudah tergariskan. Sebab bukankah hujan ialah sumber kehidupan? Segala rezeki dan kehidupan tentram bermuara ka...