KEGELAPAN MIMPI

31 1 0
                                    

Dalam sebuah jalan setapak suasana sangat mengerikan terselimuti oleh hawa kegelapan dan kesunyian. Berjalanlah seorang remaja dengan rambut hitam lurusnya yang bergoyang lembut diterpa sepoinya angin. Dalam kesendirian dia berjalan lambat dan teratur namun ketakutan terlukis nyata dalam raut wajahnya.

Berjalanlah ia dalam kesendirian di atas jalan setapak yang menuntunya maju ke depan jauh, jauh, semakin jauh tak ada yang menemaninya selain rumput yang tidak terpotong rapi di kedua sisi jalan. Hingga sebuah gerbang besar muncul dalam pandangan yang nampak semakin besar setiap kali ia menapaki langkah demi langkahnya.

Anehya dia tak bisa berhenti padahal jauh dalam dasar hatinya ketakutan sudah membuatnya sesak ingin segera berhenti dari tempat menakutkan itu. Semakin dia melawan semakin dia menyadari ia tidak punya kuasa sedikitpun pada tubuhnya sendiri, entah kenapa sepasang kaki gemetarnya tetap berjalan santai menuju gerbang besar yang sudah rusak mungkin sudah tak dirawat sampai bertahun-tahun.

Berhenti, berhenti, ayo berhenti! Jeritan hatinya bagai seruan pada batu ia sama sekali tak mampu menggerakanya. Tubuhnya kaku terus melaju tanpa kehendaknya. Gerbang yang tak terurus itu semakin bertambah jelas dalam pandanganya terlihat lebih jelas pula betapa kotornya tempat itu.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa tubuhku terus menuntunku masuk lebih dalam ke tempat yang aku sama sekali tidak menginginkanya? Hatinya tetap terus bergejolak dan rasa takut semakin merangsek memenuhi seluruh ujung ruang hatinya namun tubuhnya sama sekali tidak mau mendengarkan.

Ujungnya sampailah ia dalam gerbang besar yang rusak dan mulai menunjukan bagian dalamnya yang ternyata nampak sebagai sebuah istana besar yang sudah tak terhuni. Apakah ini tempat sisa peperangan? Aku tidak peduli aku hanya ingin segera pergi dan mengakhiri semua ini! Tubuhnya tetap tak merubah arah dan kecepatanya langkahnya. Hanyalah satu hal sederhana yang ia bisa lakukan untuk menahan rasa takut dalam dirinya yaitu dengan menutup mata.

Ya matanya hanyalah satu-satunya hal yang ia bisa kendalikan. Dalam suasana yang semakin gelap dan mengerikan, tubuhnya tetap terus melaju di atas jalan setapak istana yang menuntunya masuk jauh lebih dalam dan menunjukan tumpukan batu balok yang tertata rapi sekali. Andai saja batu-batu itu bersih dan tidak terikat oleh rumput-rumput kuning layu dan daun-daun kering kerontang yang berada di atasnya mungkin batu-batu itu akan terlihat lebih indah bagai candi dari peradaban lama.

Cukup lama ia mengamati nampaklah ternyata batu-batu itu memiliki ukiran dalam bentuk goresan serta pahatan halus membuatnya menyerupai prasasti. Iya ini adalah prasasti jaman kerajaan lama! Kesadaran dalam hatinya masih bisa berpikir tentang bebatuan yang di lihatnya. Ia juga mampu menyadari ternyata tulisan pada batu ini adalah dari bahasa Jawa kuno yang terlihat rumit namun ia yakin itu adalah tulisan yang biasa ia temui dalam pelajaran sekolah.

Goresan-goresan prasasti itu semakin pudar tertutup rumput yang menjalar liar dengan suburnya juga lumut-lumut hijau gelap yang membuat sebagian tulisan tertutup dan tidak samar dari pandangan. Penglihatanya mulai bertambah jelas lagi saat dia mulai menyadari tubuhnya masih berjalan tanpa keinginanya terus maju hingga berhentilah tubuhnya saat akhirnya wajah pucat pasinya berhadapan dengan bebatuan yang berdiri kokoh walau sudah termakan waktu.

Secara tiba-tiba tangan kananya mengangkat maju ke depan menuju batu yang berbentuk aneh seperti kunci. Maju dan maju tangan kananya hingga menyentuh sebuah batu berukir rapi yang juga nampak kotor dengan debu dan tumbuhan mati. Berhenti! Berhenti! Apa yang kau lakukan? Aku tak ingin menyentuh batu itu! Hatinya menjerit lantang namun tanganya tetap tidak berada di dalam kendali dan kuasanya. Tersentuhlah batu itu oleh jari tangan seorang remaja muda yang tak bisa mengatur gerakan tubuhnya sendiri.

HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang