Almira setia menggenggam tangan Nasha selama perjalanan dari kafe ke rumah sakit. Dia berulang kali berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Nasha dan bayinya. Nasha memang sudah membuatnya sakit hati, tetapi anaknya tidak bersalah sama sekali. Jika sesuatu terjadi pada calon bayi itu, dia pasti akan merasa sangat bersalah.
Sementara Nasha masih belum menunjukan perubahan yang lebih baik. Matanya masih tertutup rapat untuk menahan sakit yang mendera perutnya. Dia mengerang berkali-kali, tetapi tidak mengatakan apapun. Mungkin terlalu lemah untuk mengeluarkan suara.
Mata Almira melirik seorang suster yang sedari tadi mendampingi perjalanannya dengan Nasha. Suster itu menyeka keringat di kening Nasha dengan sabar. Ketika matanya bertemu pandang dengan Almira, dia tersenyum ramah.
"Mbak saudaranya?" tanya sang suster. Almira hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan itu. Terlalu bingung untuk bersikap dan tidak berniat menceritakan siapa Nasha sebenarnya. "Tenang saja, Mbak. Kadang memang ada kejadian tak terduga seperni ini. Insyaallah, semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu berdoa."
"Terima kasih, Sus," ucap Almira. Dia tidak mau bersikap tak acuh pada orang sebaik suster itu. "Suster sudah menikah?"
"Sudah. Saya istri kedua," kata suster itu ringan. Kening Almira berkerut. "Istri kedua tidak selamanya pengganggu, lho. Suami saya menikah lagi karena istri pertamanya tidak bisa memberinya keturunan." Almira mengangguk paham. Dia tidak bertanya lagi. Membayangkan dia memiliki madu, membuat hatinya kembali panas.
Apakah pada akhirnya aku juga akan memiliki madu?
Almira gelisah memikirkan masa depan pernikahannya. Apa dia salah membuat keputusan? Apa seharusnya dia memberi Nasha kesempatan? Namun, Alfa bahkan tidak mencintai Nasha, bisakah pria itu bersikap adil?
Kepala Almira dipenuhi banyak kemungkinan. Membuatnya merasa sesak dan ingin menangis. Ketika setitik kristal tanpa permisi membasahi pipinya, genggaman tangan Nasha menguat. Dia tersadar dan dengan cepat mengusap air matanya.
"Handphone," ucap Nasha pelan, namun Almira bisa mendengarnya dengan jelas. Untuk apa Nasha meminta benda itu? Siapa yang akan dihubungi oleh wanita itu? Semoga dia tidak menghubungi ibunya.
Almira meraih tas Nasha tanpa melepas genggaman tangannya. Lalu, perlahan mengaduk isi tas dan mengambil gawai yang di maksud. Saat dia akan memberikannya pada Nasha, suster memberi tahu jika mereka sudah tiba di rumah sakit. Ternyata ambulans yang ditumpanginya sudah berhenti.
Tidak mau menunggu lebih lama, Almira turun terlebih dahulu dan mengikuti para petugas medis yang sudah menunggu ambulans itu di pintu UGD. Tangannya kembali menggenggam tangan Nasha yang terasa semakin lemah. Tangan lainnya membawa tas dan gawai Nasha.
"Mbak tunggu di luar saja. Biar kami periksa dulu," ucap dokter perempuan yang memakai name tag 'Arina Salsabillah'. Almira menurut. Dia bermaksud melepas tangan Nasha, tetapi ditahan. Menuruti kata hati, dia mendekatkan telinganya ke mulut Nasha.
"Video." Almira menatap wajah Nasha sebelum akhirnya wanita itu memasuki ruang UGD. Dia menatap pintu itu sangat lama. Berharap bisa menemani Nasha yang sedang kesakitan sendiri di dalam sana.
Ya Allah, mengapa aku tiba-tiba merasa takut?
Almira terkejut saat mendengar nada dering gawainya. Dari musiknya saja, dia tahu jika Alfa yang menghubunginya. Dia mengambil gawai dari tas dan mengangkat panggilan dari sang suami. Daritadi dia berniat untuk menghubungi Alfa, tetapi ragu.
"Assalamualaikum," sapa Almira.
"Waalaikumsalam. Kamu masih lama, Al? Mas jemput, ya?" berondong Alfa dari seberang sana. Almira mengigit bibir bawahnya dan berusaha tidak menangis, namun air matanya luluh entah untuk alasan apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia itu Bukan Milikku (Selesai)
Spiritual#01 in spiritual (23/02/2019) #02 in spiritual (21/02/2019) Sebagian dihapus. Untuk membaca versi lengkap, bisa mengunjungi akun dreame saya (Lina Rahayu) 😁 Almira tidak pernah menduga jika Alfa, pria yang baru saja dinikahinya satu bulan ini, meng...