Pria berkemeja hijau pupus itu masih memandangi tablet kesayangannya. Senyum berulang kali menghiasi bibir. Matanya memancar terang seolah ada bola lampu di sana. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah cantik di layar tablet.Perlahan sosok di layar tablet berganti pose. Menampilkan seorang gadis berjilbab biru laut yang sedang memilih baju. Lalu berganti foto lagi, masih gadis yang sama, duduk di sebuah bangku dan memijat kaki. Selanjutnya, foto sang gadis tersenyum lebar ketika berbicara. Objeknya selalu si gadis dengan senyum yang disukai pria itu.
Suasana foto berganti. Kali ini gadis pemilik senyum manis sedang berada di atas motor matic putih. Dia mengenakan jilbab segi empat hijau muda yang menambah pancaran kecantikannya. Tangan kanannya memegang sebuah helm. Dia menatap mentari pagi seraya tersenyum.
Tangan pria itu memencet tanda pause ketika tablet menampilkan si gadis yang berada dalam pose paling sempurna. Gadis itu duduk di sebuah kafe, dia bertopang dagu seraya tersenyum lebar. Jilbab merah muda sepertinya sangat cocok untuk pemilik kulit putih itu.
Helaan napas terdengar, pria itu membuka laci dan kembali menemukan foto-foto gadis itu. Entah sejak kapan dia suka memandanginya. Dia tidak pernah merasa penasaran kepada gadis mana pun setelah pengalaman pahitnya dulu. Kenapa kali ini berbeda? Sejak malam itu.
🌹🌹🌹
“Kenapa harus dijodohkan sih, Pa?” protes pria berkemeja ungu dengan wajah berkerut. Dia menahan agar kedua tangannya tidak mengepal. Kedua mata elang sang pria sudah siap menerkam siapa saja.
“Karena kamu memang harus dijodohkan, Alfa.” Alfa mendengus. Wajahnya semakin berkerut ketika melihat Mama sudah menahan tawa dari tadi.
“Tapi Alfa sudah dewasa. Alfa ... ”
“Tepat sekali,” potong Papa tegas. Dia melipat kaca mata yang sedari tadi dipakai untuk membaca koran. Mata tuanya menatap serius Alfa. “Almira itu wanita baik, kamu pasti sangat beruntung karena bisa bertemu dengannya.”“Pa!” Emosi Alfa sudah mencapai ubun-ubun. Dia baru saja diminta melebarkan usahanya dan sekarang dijodohkan. Papa benar-benar tidak bisa dibiarkan lagi. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dia memang yang paling dekat dengan orang tua. Ditambah ketiga kakaknya yang tinggal di luar kota. Dia menjadi satu-satunya anak yang masih bisa dikendalikan. Namun, perjodohan?
Yang benar saja! Ini sudah tahun 2018. Mengapa kata ‘perjodohan’ masih dipakai sebagai alat menuju pernikahan. Menikah itu butuh perjalanan panjang dan Papa ingin menikahkan anak kesayangannya dengan putri sang sahabat. Memangnya ini daerah pedalaman? Ini Pekanbaru! Salah satu kota yang sedang berkembang. Bagaimana bisa pemikiran ini masih ada.
“Ketemu saja dulu, kamu bukannya mau dinikahkan besok, Al,” ujar Mama, meredamkan gejolak emosi anaknya.
“Mama dukung Papa?” tanya Alfa, matanya masih setajam tadi.
“Mama sudah pernah bertemu Almira. Dia cantik, pintar, dan baik. Mama suka.”
“Kalau dia sudah sesempurna itu, kenapa belum nikah juga? Kenapa harus dijodohin? Jangan-jangan dia punya penyakit.”
“Alfa!” tegur Papa keras. “Jaga ucapanmu!”
Alfa mengerjap. Jika papa sudah berteriak, kesalahannya pasti sudah fatal. Dia tidak bermaksud menjelekkan gadis itu, tetapi di zaman serba canggih ini mana ada wanita sempurna yang mau dijodohkan. Apa lagi dengan pria asing. Di tambah umurnya masih 25 tahun. Belum terlalu tua, bukan? Hanya tiga tahun lebih muda darinya.
“Dia wanita muslimah, karena itu dia tidak mengenal istilah pacaran,” jelas ibu.
“Oh.” Rasanya Alfa mulai mengerti sekarang. Jadi bukan wanita berpenyakitan, tetapi wanita kolot. Ya Ampun! Malang sekali nasibnya. Dan dia memang akan menerima perjodohan ini. Baginya, titah Papa adalah keputusan akhir. Jadi, lebih baik turuti saja. Mana tahu dia bisa menyulap si gadis kolot menjadi tuan putri cantik jelita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia itu Bukan Milikku (Selesai)
Espiritual#01 in spiritual (23/02/2019) #02 in spiritual (21/02/2019) Sebagian dihapus. Untuk membaca versi lengkap, bisa mengunjungi akun dreame saya (Lina Rahayu) 😁 Almira tidak pernah menduga jika Alfa, pria yang baru saja dinikahinya satu bulan ini, meng...