PART 19: BADAI SEBENARNYA

11.4K 604 48
                                    

Mata Almira masih menatap makhluk mungil yang baru saja dilahirkan oleh Nasha melalui kaca ruangan bayi. Usia kandungan Nasha yang memang belum mencukupi membuat sang bayi harus mendapatkan sedikit perawatan khusus. Nasha sendiri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Dokter mengatakan jika keadaannya sudah stabil, meskipun masih lemah.

Almira menghela napas dan melihat sekeliling. Masih sepi. Dia bertanya-tanya ke mana para pria itu pergi. Apakah Bapak dan Papa mengintimidasi suaminya? Rasa penasaran menguasai hatinya, tetapi dia sudah berjanji pada Bapak untuk tetap di sini.

Setelah keributan kecil karena Papa melarang Alfa untuk mengazani bayi Nasha, keduanya menghilang. Papa yang akhirnya menyerukan azan dan iqomah di telinga bayi malang itu. Bapak yang melihat kepergian kedua pria itu langsung mengikuti dan meminta Almira tinggal.

Sejujurnya, Almira lega saat Alfa memutuskan untuk tidak menemani Nasha melahirkan. Papa juga mendukung keputusan Alfa. Namun, di sisi lain Almira merasa bersalah karena membiarkan Nasha berjuang sendiri. Dia juga tidak terlalu yakin bisa menemani proses persalinan itu. Jadi, Nasha hanya ditemani para tenaga medis.

Wanita berjilbab berdoa dalam hati semoga saat melahirkan nanti ada seseorang yang menemaninya. Dia tidak ingin sendiri ketika berjuang untuk bayinya. Mungkinkah dia bisa merasakan momen itu?

***

"Kamu tetap tidak mau menceritakan semuanya, Fauzan Alfarizi?" Alfa menunduk, masih dengan rasa berdenyut di sudut bibirnya karena serangan tiba-tiba dari Papa beberapa saat lalu.

Bukan Alfa tidak ingin bercerita. Dia hanya merasa malu, terutama Bapak yang sedari tadi selalu menahan amarah Papa. Jika ada yang harus marah, itu adalah Bapak. Pria itu pasti sangat kecewa padanya.

Alfa sudah menyakiti hati anak semata wayang Bapak yang luar biasa baik. Dia merasa gagal sebagai pria dan suami. Akan lebih baik jika Bapak memarahinya saja, dia pasti sedikit lega. Namun, dia yakin Bapak bukan tipe pria seperti itu. Bapak berusaha mengendalikan emosi dan meredam gejolak di dadanya.

Memikirkan hal itu membuat Alfa teringat Almira yang sedang sendirian di dalam rumah sakit. Wanita itu, mungkinkah dia juga mencoba mengendalikan amarah? Alfa tidak bisa membayangkan sesakit apa hati istrinya mengetahui kebohongan yang dia ciptakan.

"Fauzan Alfarizi!" Papa mencengkeram kerah baju Alfa dan bermaksud melayangkan tinjuan, tetapi Bapak melerai.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, San. Kamu tidak malu dilihatin orang dari tadi?" Papa mengedarkan pandang ke sekeliling taman rumah sakit. Beberapa orang memang sedang memperhatikannya. "Tahan emosimu," lanjut Bapak. Papa melepas Alfa.

"Kalau bukan karena mertuamu ini, Papa tidak akan sesabar ini, Al. Papa malu sekali. Kamu benar-benar keterlaluan. Apa pernah Papa mengajarkan pengkhiatan padamu?"

"Maaf, Pa, Pak. Alfa tahu kata maaf tidak akan merubah apa-apa dan juga tidak akan mengurangi rasa kecewa di hati Papa Bapak. Alfa mengaku salah."

"Jika kamu memang merasa bersalah, ceritakan semuanya kepada kami," ujar Bapak dengan suara rendah. Mata Alfa memanas.

Menahan rasa malu dan bersalah yang menggelayuti, Alfa mulai bercerita. Mulai dari pertemuan dengan Nasha seminggu sebelum pernikahannya dan Almira, sampai bagaimana dia berakhir menikahi Nasha. Dia menceritakan hingga sedetail mungkin tanpa menutup-nutupi.

Tangan Papa kembali terkepal. Urat di pelipisnya berkedut-kedut. Sementara rahangnya mengeras dan tatapannya menghujam Alfa yang sudah menyelesaikan ceritanya. Berharap apa yang didengarnya merupakan kesalahpahaman. Sudut matanya melirik Bapak.

Berbeda dengan reaksi Papa, wajah Bapak terlihat datar. Tidak ada gurat marah di sana. Meski begitu, matanya tidak berkedip untuk waktu yang lama. Mulut Bapak terkunci rapat dan itu membuat Papa lebih marah.

Bahagia itu Bukan Milikku (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang