Qadarullah 1

232 6 6
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

sedikit info, guys! ada sedikit perubahan pada alur cerita ini ya! bagi kalian yang sudah membaca cerita ini dari awal akan menegrti bagian mana saja yang diubah. terimasih dan salam sayang dari saya. 

Ujian dan takdir kadang hadir disaat yg tidak tepat. Lalu aku mengatainya, Allah tiada adil memberiku jalan hidup seperti cerobong hitam, gelap tanpa setitih sinar, seperti kubangan kenestapaan kuratapi tiap malam.

Alur jalan bila kuhintari aku semakin jauh berkelana pada kepedihan, tiada jalan menuntunku selain jalan curam mematikan lahir batinku, hidupku hingga takdir harus ku sesali selama nafas berhembus dari raga.

"Aku mau di sini saja Mas?  Aku tidak ingin pulang. Aku ngga mau!" titahku tetap pada keputusan awal.

"Kalau kamu di sini siapa yang akan membiayai sekolahmu Qais? Pulang saja, Ayah akan menerimamu."

"diriku bagai bola, sesuka hati kalian saja menendangku kemana-mana." titahku nanar.

Potongan kecil dari ingatan sebelum aku benar-benar pergi dari pesantren ini. Bulir-bulir air mata tetap tidak mampu kubendung. masih terngiang membekas semenjak Mas Agung datang memberitahu kalau aku harus  pindah dari pesantren ini. 

Satu persatu teman-teman sekelasku selama di pesantren ini mengerumuniku, menatapku dengan mata berkaca-kaca. Mereka adalah sahabatku selama dua tahun terkahir. mereka sebagai obat yang setia menemani masa-masa tersulit yang pernah kualami. Menyempurnakan hari-hariku yang penuh kekurangan, bagiku mereka bagaikan pelangi, mereka hadir kala hatiku berduka, warna cerah kembali menghiyasi ruang hati yang redup menjadi bersinar.

lantas, bagaimana kehidupanku setelah ini? hidup tanpa mendengar bait-bait menenangkan dari mereka? 

"Apa ngga bisa diusahakan lagi, Qais? Ummi pasti bisa mengerti kondisi kamu, di sini kami bisa membantu sedikit yg kami mampu.." Hilmi teman dekatku masih kukuh aku harus bertahan.

"benar, Qais. sayang sekali, kita sudah kelas tiga, dan beberapa bulan lagi kita ujian akhir sekolah. apakah Mas Agung tidak bisa mengupayakan sedikit lagi?" Dina, berseloroh berharap masih ada jalan lain agar aku tetap di sini.

"Terimakasih atas niat bail kalian, tapi berapa lama lagi aku bergantung terus pada mAs Agung, aku tahu kondisiku Hil, itu tiada memungkin. Aku harus pergi.. Terimakasih ya kalian sudah menjadi sahabat terbaikku. Kebaikan kalian selama ini tidak bisa ku membalasnya." isakan kecil hanya tercekat di tenggorokan membuatku semakin luka.

mereka terguguh diam. hanya diam sembari memelukku erat. Ini merupakan pelukan perpisahan sebagai sahabat yang sudah lama berkenalan,  semoga takdir bisa mempertemukan kami lagi.

----
jam sebelas siang, Mas Agung stand by menunggu di parkiran, aku pamitan pada semua guru-guru, sahabat-sahabatku berbaris di halaman pesantren memandangku penuh rasa iba, sebuah pandangan kubenci terhadap diriku.

Aku tak tahan bila masih berlama di sini, memandangi mereka berlama-lama hatiku semakin perih. Ada pekikan pilu agar lebih lama lagi bersama mereka. Aku langsung bergegas menaiki sepeda motor tanpa sedikit pun menoleh. Bila sedikit saja aku menoleh, hanya akan menyisihkan kepedihan lalu menjadi kebencian pada qadarullah.

sesampainya di terminal aku bagaikan makhluk bisu memandang nanar pada koper kecil di sampingku, aku duduk termangu menunggu mas Angung sedang berbincang pada bapak penjaga loket. Sesekali pandangannya mengarah padaku.

"Ini tiketnya.. Mas ngga bisa nemani kamu lama-lama di sini.  Mas masih ada kerjaan yang harus mas buat, jika mas memilih tinggal,  nanti mas bisa di pecat sama atasan."

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang