1. Bertemu Lewat Kasir

66 17 37
                                    

Teriakan menggelegar seorang wanita buat konsentrasi Jeara buyar. Adegan tidak senonoh dalam fanfiction yang dia baca belum sampai klimaks, maka dia abaikan suara cempreng Ibunya. Berbanding terbalik dengan penampilan lusuh dan wajah polosnya. Jeara menyukai genre bacaan dewasa.

Padahal dia sendiri masih lajang. Pengalaman soal cowok, nol. Cinta monyet saja gagal total. Itulah mengapa Jeara mengagumi cerita cinta indah dalam fiksi. Membayangkan dirinyalah pemeran utama wanita. Dicintai seseorang atau diperebutkan dua cowok tampan.

"Jeara! Radisty Jeara! Mau jadi anak durhaka kamu ya." Kalau sudah begitu, mau tidak mau dengan gerak cepat Jeara melepas earphone dari telinga dan melempar ponsel asal di atas kasur.

Jeara berjalan gontai menghampiri "Nyonya Besar; Citra" alias sang Mama yang sedang santai menonton FTV tentang para istri yang disakiti suami peselingkuh, atau maunya punya banyak istri, atau suami brengsek tobat karena tertabrak motor matic. Suara merdu penyanyi Rossa selalu terdengar di rumahnya sampai Jeara bosan.

"Ada apa, Ma?"

Tanpa menoleh, Citra menyerahkan lembaran uang lalu berkata "tolong beli pulsa listrik dan isi ulang pulsa Mama." Jeara menengok jendela rumah, cahaya matahari masuk dengan bebasnya. Bersinar terang dan panas. Wajah Jeara memelas, apa tak bisa Mamanya menyuruh ia sore nanti?

Jawabannya tidak.

"Cepeett, tuh udah bunyi kan meterannya. Kalo mati listrik Mama kan ga bisa lanjut nonton ini."

Setelah mendengus sebal Jeara mengambil uang itu pasrah. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong lambang boyband korea di dada, itu pun hampir pudar. Biar saja, Jeara tidak peduli.

¤¤¤

Kalau bisa Jeara hitung, mungkin sudah kiloan meter jauh perjalanan ia tempuh. Betisnya yang terasa bengkak diseret. Peluh bercuruan dari ujung kepala sampai sela kaki. Rambut hitamnya lepek menempel dahi. Pipinya merah. Bukan yang imut tapi merah yang tidak layak konsumsi mata publik menurut Jeara.

Jika saat di rumah Jeara lusuh, mungkin sekarang ia bagaikan pengemis jalanan. Sedari tadi tak ada warung dan minimarket yang menjual kebutuhannya. Dengan alasan habis saldo, masalah jaringan hingga tutup.

Pilihan terakhir jatuh pada minimarket dekat komplek sebelah. Dengan langkah lunglai Jeara menghampirinya. Tidak ramai karena masih jam kerja. Ketika masuk, dingin AC menerpa wajahnya.

"Selamat datang di Betamart, selamat berbelanja."

Sapaan terdengar dari arah kasir. Jeara terpaku setelah menoleh. Sosok tampan, tinggi, putih, rambut hitam menyambutnya dengan senyum ramah ibarat malaikat.

"Permisi mbak, ngalangin jalan." Suara ketus Ibu paruh baya menyadarkan Jeara. Fokus dan tujuan awalnya buyar entah kemana. Dia tidak sadar kalau sedari tadi berdiri depan pintu. "I-iya Bu, maaf."

Jeara menggeleng kepalanya, menepuk pipinya sekali kemudian jalan ke arah kasir. Menuju Mas Kasir Ganteng berada, lagi berbenah. Jeara berdeham lalu berkata "Mas, saya mau beli pulsa listrik. Bisa?" Nada bicaranya terdengar ketus. Dalam hati Jeara memaki dirinya sendiri.

Sebelum menjawab, lelaki itu senyum lebih dulu. Jantung Jeara berdetak tidak karuan dibuatnya. "Bisa kak, silakan sebutkan nomornya."

Jeara berusaha setenang mungkin menyebutkan tiap digit nomor yang dituju. Mas Kasir memang tidak memperhatikan, tapi Jeara tidak tahu harus menatap kemana. Ia menyesal karena berpenampilan lusuh.

"Pulsanya sudah masuk, nomor tokennya ada di situ ya kak," ujarnya sopan seraya senyum. Jeara yang sedari tadi hanya menunduk menatap sandal jepitnya berterima kasih lalu menyerahkan uangnya.

Sentuhan singkat tangan mereka bikin Jeara makin salah tingkah. Tangan mas kasir ganteng itu putih, halus tetapi maskulin. "Terima kasih sudah berbelanja, Kak."

"Iya, hmm sama-sama."

Baru saja Jeara membalik badan, dia dipanggil lagi. "Oiya, jangan lupa belanja lagi ke sini ya."

Strategi pemasaran yang bagus.

Jeara hanya mengangguk dan pergi dari minimarket itu.

¤¤¤

Selesai urusan pulsa listrik, Jeara kembali ke kamarnya. Dia hanya duduk di pinggir tempat tidur. Sudah tidak bernafsu untuk melanjutkan bacaan dewasa tadi.

"Gimana bisa ada orang seganteng itu ya, dia manusia apa bukan?" Jeara berdiri depan cermin lemarinya. Pantulan dirinya terlihat begitu mengecewakan.

"Ra! Jeara?!!"

Tuhan, apa lagi ini.

"Apaan sih Kak! Teriak mulu, emang lu kira ini stasiun?". Padahal kalau dipikir-pikir, stasiun jarang ada yang teriak. Kalau pun ada, tidak senyaring Lintang.

"Kalo dipanggil kakak tuh sigap dong!"

Jeara hanya bisa mendengus sebal lagi, gaya bicara Lintang makin mirip dengan Citra. "Ada apa kakak aku tercintah?" Jeara berusaha sabar dan tabah berdiri depan kasur yang diduduki dalam kamar Lintang.

Namun kesalnya tidak bertahan lama, melihat Lintang lelah sepulang kerja buat Jeara tidak tega. Hebatnya, Kakak satu-satunya itu tetap terlihat cantik.

"Gue denger di supermarket dalem mall deket sekolah lu dulu ada lowongan. Bukannya lu butuh kerjaan?"

Mata Jeara melotot lebar, mulutnya juga ia bekap. "Gausah dramatis deh," Lintang memutar bola matanya bete.

Bukannya berlebihan, tapi jarang sekali Lintang yang jutek dan tidak pedulian itu mau memberitaukan info penting. Apalagi menyangkut tentang kebutuhannya. Jeara yang terharu langsung mendekap erat tubuh mungil kakaknya.

"Ish pengap tau".

"Makasih kak, heheheh". Jeara kira Lintang akan mendorongnya, ternyata tepukan dua kali di punggung yang didapatkan.

Bersambung

Yak sampai sini dulu awal permulaan cerita Jeara, terima kasih sudah membaca ya. Jangan lupa tekan tombol lambang bintang di pojok kiri bawah 😆

Your Smile in Summer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang