2. Sadar Diri

51 11 23
                                    

Sebelum melamar kerja di supermarket yang diberitahukan Lintang, Jeara masih menyibukkan diri kerja paruh waktu di sebuah toko dalam kantin sekolah milik tantenya. Pulang dari sana dia akan bantu masak dan membersihkan rumah kemudian menghabiskan waktu dengan membaca komik dan novel online. Niatnya seperti itu.

Namun manusia hanyalah bisa berencana. Nyatanya, di sinilah Jeara. Ia berada dalam minimarket komplek sebelah. Berdiri kaku di antara rak camilan seraya mengintip ke arah kasir. Sudah ketiga kalinya Jeara ke sana dan mendapati bahwa Mas Kasir Ganteng itu bernama Dovian Senjakala. Kalau teman-temannya biasa memanggil dia Vian.

"Namanya ada senja, lahirnya sore ya, pas matahari tenggelam gitu. Gue mah ba'da dzuhur". Narasi Jeara dalam hati.

"Permisi mbak, saya mau naroh ini," ujar sopan mbak pegawai minimarket, menunjukkan satu kotak roti untuk disusun dalam rak. Jeara tersenyum kikuk lalu menyingkir sambil meminta maaf.

Karena sudah cukup lama, Jeara segera mengambil satu susu coklat dan biskuit. Ia berjalan menuju kasir gugup. Kali ini Jeara mengenakan setelan baju yang lebih manusiawi, sandalnya pun masih swallow tapi kali ini versi unyu.

Untungnya minimarket cukup sepi karena masih jam kerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untungnya minimarket cukup sepi karena masih jam kerja. Jeara menaruh belanjaannya di atas meja kasir yang langsung dengan sigap dihitung menggunakan mesin oleh Dovian. Sedikit-sedikit Jeara mencuri pandang ke lelaki jangkung itu. "Ada tambahan lagi kak?" tanya Dovian ramah.

"Segitu aja, Mas." Jeara berusaha senyum, meski pastinya hanya terlihat sudut bibir terangkat sedikit.

Dovian menyebutkan jumlah harganya, lalu Jeara membayar dengan uang pas. Kemudian mengecek kembali isi plastik belanjaannya. "Loh, Mas, seingat saya, saya ga beli permen cupa cup ini deh." kata Jeara bingung, mengeluarkan satu permen bertangkai rasa stroberi.

Lawan bicaranya tersenyum. "Bonus kak"

"Hebat sekali teknik memuaskan pelangganmu, Ferguso." Jeara ingin balas begitu tapi yang terucap justru "Terima kasih."

Jeara termenung memperhatikan permen di tangannya. Merasa aneh dengan "bonus" yang dia terima. Membuat Jeara besar rasa, jantungnya juga berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Pipi Jeara juga memanas. "Padahal cuma permen," gumamnya pelan. Jeara menoleh lagi ke arah kasir, Dovian masih di sana. Berdiri sambil menatap balik Jeara.

Kedua pasang mata mereka bertemu. Mungkin adegan pasaran atau klise. Namun itulah adanya. Jeara terpaku pada sepasang mata Dovian yang tajam dan segelap malam. Sepasang alis tebal dan rapi. Hidung mancung, tidak mekar seperti milik Jeara. Bibir penuh tanpa pecah-pecah. Memang jarang ada lelaki sempurna macam Dovian.

"Mbak, permisi. Saya mau masuk." Momen drama korea sepertinya harus dipotong dahulu. Jeara buru-buru keluar dan melangkah dengan cepat meninggalkan minimarket itu.

¤¤¤

"Udahlah, terima aja kalo elo naksir berat sama doi. Siapa dah namanya? Sofian? "

"Dovian, Ren." Jeara mengaduk es teh manisnya lesu. Curhat dengan Karen, sahabatnya sejak bangku sekolah menengah atas pun menjadi pilihan terakhir. Awalnya Jeara ingin menyimpannya sendiri namun lama kelamaan ia butuh seseorang untuk menumpahkan keluh kesah.

Karen dengan santai meminum jus mangganya. "Semua gejala yang lo sebutin itu udah jelas kan, buat apa ngelak lagi. Lo bahkan rela jalan jauh demi ke minimarket tempat cogan kasir itu."

"Iya iya! Begitu deh." Kata Jeara sebal.

"Trus?"

"Ya ga ada terusannya, begini aja cukup. Gue sadar diri kok. Sampe kapan juga, gue tetaplah cewek gemuk abal."

Karen membetulkan letak kacamatanya. Kemudian berkata penuh kesabaran. "Radisty Jeara, gue ngerti kalo elo ngerasa cukup ketemu doi pas belanja aja. Tapi apa-apaan tuh sadar diri? Lo itu lo, jangan bandingin diri dengan orang lain. Lo itu baik dan punya nilai tersendiri. Ga perlu ikutin standar orang lain, karena lo yang jalanin hidup lo sendiri. YOLO, Ra. You only live once."

Jeara tetap diam. Dia hanya menatap kosong pada gelasnya yang berembun. Kilasan balik yang menyakitkan terputar dalam pikiran.

"Lo bener, Ren." Jeara hanya tersenyum, sendu.

"Ra," Karen menggenggam tangan Jeara erat. "Bagaimana pun pilihan jalan hidup lo, apa pun cara lo menyukai seseorang, ga akan ada yang boleh menghakimi lo. Lo berhak bahagia, lo itu berharga".

"Ka..ren..." Jeara balas mengeratkan genggaman tangan mereka.

"Sshh udah jangan terhura duluan. Gue malu nih, ntar dikira ngeledekin anak orang lagi." Walaupun bicara begitu, Karen juga mengusap sudut matanya. Mereka berdua mentertawakan wajah lawan bicaranya. Hidung merah dan mata berair.

"Btw, pesenan gue udah ada?" tanya Karen antusias.

"Bawa dong, masih segel. Pas lo buka, beeehhh wanginya membelai hidung manja". Jawab Jeara bak kreditur panci profesional. Dikeluarkannya sebungkus kotak besar warna coklat.

"Heuheuheu, dengan ini koleksi gue lengkap. Ga salah gue pre-order album barunya idol bareng lo".

"Tidak semudah itu, Antonio. Lo itu masih junior gue."

"Hmph, lihat saja Roberto."

Keduanya menyeringai. Tidak mempedulikan tatapan dan bisik-bisik pengunjung kafe lain. Tidak pula menyadari pegawai kafe yang bersiap menelepon polisi setempat. Sia-sia mereka hanya takut pada dua fangirl yang baru saja membeli barang impor dari korea.

Bersambung

Your Smile in Summer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang