4. Senior

25 9 4
                                    

"Jadi kamu itu mudah banget ya. Seenaknya masuk ke pikiran aku, ke hati aku."

LANTUNAN lagu terdengar sejak subuh dalam rumah Jeara. Saat bangun tidur, mandi sampai masak. Jeara membolak balik tempe potong kecil-kecil pada penggorengan sambil berdendang.

"We are the lovesick girl~ nenanana hm hmhm sueobso~"

Lintang bergidik ngeri melihat keadaan adiknya. Tidak biasanya mood Jeara sebaik ini. Lintang duduk di kursi makan keheranan. Lebih kagetnya lagi, tiba-tiba Jeara menoleh seraya mengukir senyuman terbaiknya. "Oh, selamat pagi kak. Bentar ya, tinggal tempe orek nih." Lalu perempuan itu kembali pada kegiatan masak dan bernyanyinya.

"But we were born to be alone, yeah we were booorrrn to be alone... But why we still looking for love~"

"Elu bener adik gue kan, Jeara?" Tanya Lintang hati-hati.

"Ya iya lah adik kamu, Lin." Citra terkekeh geli seolah menjawab pertanyaan terlucu pagi ini.

"Liat aja, Ma. Liat anakmu, Ma." Keduanya melirik Jeara yang sudah berganti lagu untuk dinyanyikan.

"Aku terlanjur cinta kepadamu... Dan tlah kuberikan seluruh hatiku... Huwooo~" Suara Jeara agak melengking di akhir tapi ia tetap lanjut bernyanyi, sesekali tersenyum puas mencicipi rasa tempe oreknya yang pas.

"Yaudah biarin, mungkin dia seneng karna hari pertama kerjanya."

Lintang melihat jam dinding horror, jarum panjang dan pendek sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh menit. Terhitung dua puluh menit lagi sebelum Jeara masik kerja.

"JEARA PEKOK, DUA PULUH MENIT LAGI ELU MASUK!" teriak heboh Lintang.

"Apa?!" Jeara berjengit kaget melihat jam dinding, setelah itu ia buru-buru bersiap berangkat. Hari pertamanya tidak boleh berantakan hanya karena terlambat.

Entah mimpi atau kenyataan semu, Jeara tetap merasa beruntung dapat berjalan dan bicara sedekat itu dengan Dovian. Pada setiap kegiatannya pasti terselip bayangan wajah bersih bersinar milik Dovian. Senyumnya, suaranya, hampir semua detail akan Jeara gali dari dasar ingatannya untuk disimpan. Bahkan Karen pun tak tahu perihal pertemuan mereka.

Namun kehidupan tetap berjalan, Jeara harus bekerja. Tidak boleh larut dalam memori manis yang meracuninya.

Sejalan dengan prosedur kerja yang ditetapkan, seminggu awal bagi karyawan baru adalah tahap perkenalan. Yaitu berkeliling mengikuti senior, mempelajari tugasnya akan dilakukan, dan memperkenalkan diri. Termasuk Jeara masih mengenakan seragam putih rok hitam berjalan di belakang Meti, senior pembimbingnya.

"Pastikan isi rak selalu rapi, letakkan sesuai harganya." Ucapnya tegas mengingatkan seraya menunjuk rak bagian detergen samping mereka. Meski tubuhnya kurus dan berparas manis, Metty dikenal sebagai sosok perfeksionis.

"Dan jangan sampai besok telat lagi. Gue ogah nungguin lagi walaupun lima menit."

"Iya kak," sahut Jeara patuh.

Meti menoleh pada juniornya. "Metty aja. Gue yakin kita seumuran."

"Tapi-" belum selesai kalimat yang diucapkan, Jeara didahului oleh pelototan dari Metty, "i-iya, Metty."

"Bagus. Kalo gitu kita lanjut ke bagian sabun dan alat rumah tangga."

Dibandingkan yang sudah setahun bekerja, menjadi junior ternyata lebih berat. Banyak sekali hal yang harus diingat dalam waktu singkat seperti letak produk, mengembalikan keranjang pada tempatnya, dilimpahi tugas mendorong troli tangga untuk para senior merapikan barang di rak teratas dan lainnya. Belum lagi Metty mengawasinya dengan ketat.

Jeara sempat yakin kalau dalam tiga hari ia akan sekurus Lintang. Tapi Jeara sadar betul kalau itu mustahil, nampan berisi paket makanan empat sehat lima sempurna ia bawa siap santap akan menggagalkannya. Tapi mencari tempat duduk di kantin khusus karyawan Chendy's -supermarket tempat kerja Jeara ternyata sulit.

Meja dan kursi kantin dibuat memanjang agar dapat makan bersama, dan mungkin mengeratkan keakraban sesama pekerja. Dan hampir semuanya penuh, bahkan sesama junior seperti Jeara mulai akrab satu sama lain kecuali dirinya.

"Eh eh, liat." Bisik salah satu perempuan lalu gerombolan meja tepat samping kiri Jeara cekikikan. Dilihat dari seragam biru tuanya, mereka senior.

"Ssstt, Stella, ga boleh gitu ah." Tegur perempuan lainnya tapi ia juga menahan tawa. Jeara merasa tubuhnya kaku, jantungnya berdenyut sakit.

"Tapi, Nia... Masa gitu sih. Ngapain coba di situ aja." Perempuan berwajah sunda manis yang dipanggil Stella berusaha menahan tawa meski sudah keceplosan beberapa kali.

Bukannya Jeara terlalu besar rasa atau kepedean, tapi ia tahu kalau objek lelucon dua perempuan itu adalah dirinya. Pundak Jeara merosot, kakinya seakan terkunci rantai tak kasat mata di lantai. Semua pasang mata seolah menatap Jeara, meneliti dan menilainya. Ia mengerti betul perasaan ini, perasaan yang buat dadanya serasa dihimpit sesuatu. Sesak.

"Jangan halangin jalan." Ucapan ketus Metty menyadarkan Jeara.

"Maaf, maaf Metty." Jeara memegang erat nampannya, berjalan lesu belum tahu harus ke mana. Metty berdecak sebal, niatnya mau ambil makanan malah dikacaukan tampang melas Jeara -menurutnya.

Jeara tersentak kaget saat ada orang menarik pelan lengannya, "ikut gue." Jeara linglung tiba-tiba ditarik Metty ke salah satu meja kosong. "Tunggu sini. gue mau ambil makan." Bukan permintaan tapi perintah dari Metty. Jeara hanya mangut saja.

Sejenak menunggu, Metty sudah kembali dengan nampan berisi semangkok mie ayam dan es teh manis. "Kenapa ga makan?" Metty lihat makanan Jeara masih utuh, paket lengkap nasi dan lauk pauk.

"Gue kira, hmm, kita makan bareng..." Ucapan Jeara mengecil di akhir, tidak yakin.

"Ck, terserah." Metty hanya mengedikan bahunya lalu menyantap mie ayamnya. Jeara kira Metty cuma perempuan jutek berhati dingin. Ternyata kita tidak bisa menilai seseorang dari luarnya saja. Ia tersenyum ikut melahap makanannya, perasaan berat dalam dada menguap entah ke mana.

Bersambung

Settingan supermarket ini hanyalah fiksi belaka, apabila memiliki kesamaan dengan dunia nyata maka gak disengaja. Ennnjyoy

Your Smile in Summer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang