Hidup layaknya berputar, kemarin baru saja aku merasakan kebahagiaan yang membuat hidup ku berwarna, tetapi sekarang aku berada di titik terendah dari kehidupan, terjebak dalam jurang yang dalam. Jika kamu sekarang berada di atas titik cakrawala bisakah kamu membantuku untuk kembali ke atas sana?
🌠🌠🌠
Pagi ini tidak seperti pagi kemarin, dimana Bunda yang selalu mengetuk pintu kamar ku tepat pukul enam pagi hanya untuk membangunkanku agar tidak telat kesekolah. Ayah yang selalu mengucapkan selamat pagi ketika aku duduk dimeja makan. Dan senyum yang selalu mereka lontarkan untuk anak tunggalnya setiap saat.
Semuanya terasa sangat cepat berlalu, semenjak kejadian buruk yang menimpa keluargaku.
Sekarang aku sedang berada di dalam angkot, tidak seperti dulu ayah yang selalu mengantarkanku sekolah dengan motor kesayangnya. Walaupun itu motor kesayanganya tetapi ayah selalu bilang, ayah masih lebih sayang ke aku dari pada kemotornya.
"Dek, ini sudah ditujuan akhir. Adeknya ini mau turun dimana?"
Aku terkejut mendengar suara laki-laki ditelinga kanan ku, dan hal itu membuyarkan lamunanku. Ah, mungkin sekarang melamun sudah menjadi hobi ku.
"Ini dimana bang?" aku balik bertanya.
"Ini di daerah Pangandaran dek, tujuan akhir."
Sial, bahkan aku sampai tidak sadar kalau sekolahku sudah terlewat jauh. "Yah, saya mau ke daerah Bungur Raya bang, udah lewat ya?"
"Udah lewat atuh dek, adeknya bisa naik yang ke arah Jati Padang aja lagi biar bisa turun di daerah Bungur Raya."
Aku menghela nafas, lagi-lagi aku ceroboh sikap sedari dulu yang ayah dan bunda tidak suka.
"Yaudah bang, saya turun di sini." Ucap ku, lalu memberi selembar uang berwarna coklat.
"Eh dek, gak usah. Itu disimpen aja buat jajan disekolah."
Baru kali ini aku menemukan orang sebaik ini, benar kata Bunda gak semua orang yang gak kita kenal itu jahat. "Aduh, makasih ya bang" aku memberi senyum kepada kenek angkot itu.
***
Karena tadi ada insiden nyasar, akhirnya aku baru sampai sekolah pukul setengah delapan dan bel masuk dibunyikan setengah jam yang lalu. Contoh dari murid yang namanya selalu diingat oleh petugas piket. Tapi untungnya aku tidak sendiri disini, masih ada dua orang dari kelas sebelas dan satu orang dari kelas sepuluh, tetapi tetap saja aku yang kelas dua belas sendiri disini, kakak kelas yang tidak patut dicontoh.
"Kamu telat lagi, telat terus, telat melulu. Gak ada kapoknya ya? Udah kelas dua belas harusnya kamu tobat, karena mau berhadapan dengan ujian, ini malah tambah bangor."
Aku sedikit menoleh kebelakang, penasaran kepada siapa bu Mira memberi siraman rohaninya.
Jantungku berdebar kencang, seperti habis dari lari marathon. Ternyata dia yang sedang diceramahi oleh bu Mira.
"Hey, Nadir, suruh siapa nengok-nengok ke belakang? Saya kan menyuruh kamu dalam barisan dengan sikap sempurna."
Aku tersentak karena bu Mira memergoki ku dengan sikap seperti itu, bukannya aku takut, tapi aku malu karena sekarang aku menjadi pusat perhatian.
"Iya bu, maaf" ucapku pelan.
"Zenith, kamu masuk dalam barisan sekarang."
Lagi-lagi aku ingin merutuki kecerobohanku, karena asik melamun aku jadi telat, karena telat aku jadi bertemu Zenith di sini yang pastinya membuat jantungku tidak sehat dipagi yang mendung ini.