Seorang gadis muda duduk termenung di sudut kamarnya. Dia lah, Karina. Gadis berusia 19 tahun, berwajah manis dan rambutnya panjang tergerai lurus hitam. Kulitnya sawo matang dan tubuhnya tinggi proporsional. Ia duduk sambil memeluk kedua lututnya. Matanya sembab dan pikirannya melayang.
Ini memang sudah hari ke tujuh sejak kematian orang tuanya, tapi suasana berkabung masih sangat terasa di rumah ini. Kematian kedua orang tua nya yang sangat tiba-tiba meninggalkan duka yang mendalam. Semua ini bagai mimpi yang sulit dipercaya.
Orang tua Karina meninggal dalam perjalanan ke Amsterdam untuk urusan pekerjaan. Pesawat yang ditumpanginya mengalami kerusakan dan meledak diudara. Semua penumpang tewas terbakar.
Masih teringat jelas dibenak Karina ketika orang tuanya pamit pergi pada Rabu pagi, ia tidak punya firasat buruk apa pun karena memang sudah biasa mereka bepergian ke luar negeri dan meninggalkan Karina dengan Mbok Asih di rumah. Hingga malamnya Karina mendapat kabar buruk itu...
Bagai disambar petir, Karina pingsan seketika. Musibah itu sangat membuatnya terpukul. Ditambah lagi ia tak bisa melihat jenazah orang tuanya. Sebagai anak semata wayang, hati Karina hancur, ia merasa tak punya siapa-siapa lagi.
Kini, ia harus melanjutkan hidupnya sendiri.
Di tengah kesedihannya Karina mencoba untuk kuat dan menerima kenyataan. Ia harus mulai memikirkan hidup selanjutnya.
Sebagai pewaris tunggal harta orang tuanya, Karina nyaris tidak mendapat apa pun karena ternyata Papa nya memiliki banyak hutang di bank. Tiga buah mobil dan rumah yang kini ia tempati pun akan disita pihak bank.
Karina panik dan bingung, bagaimana dia akan melanjutkan hidupnya tanpa bekal apa pun? Dia mau tinggal di mana? Lalu, bagaimana dengan Mbok Asih? Karina termenung meratapi nasib. Air matanya masih terus mengalir. Rasanya lengkap sudah penderitaannya. Ia tak tau harus bagaimana.
TRILIT...
TRILIT...
TRILIT...
TRILIT...Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Seseorang menelepon.
Karina segera menjawab panggilan yang masuk.
"Halo.." Sapa Karina
"Halo, Rin, ini Mbak Rossa," jawab si penelepon dari seberang sana. Karina tersenyum.
"Halo, Mbak. Apa kabar?" tanya Karina. Suaranya masih terdengar lirih karena habis menangis.
"Aku yang harusnya tanya kabarmu, Rin. Kamu gimana sekarang? Aku udah dengar kabar tentang Om Faras dan Tante Weny, aku turut berduka cita ya, Rin. Maaf aku gak bisa datang ke Jakarta. Aku baru dengar kabar ini kemarin, karena baru pulang dari Milan," ujar Rossa dengan nada ikut berduka.
"Iya, Mbak, nggak apa-apa, makasih ya, Mbak. Aku udah nggak apa-apa kok sekarang," kata Karina sambil mengusap air matanya.
"Rin, aku juga udah dengar tentang rumahmu yang mau disita bank. Mamaku udah cerita semuanya, Yaa Tuhan..." Rossa menghela nafas panjang.
Karina tidak bisa menjawab, kali ini ia menangis lagi, dan suara isak tangisnya terdengar Rossa.
"Sabar, ya, Rin," ucap Rossa lagi. Kedengarannya dia pun ikut menangis.
"Iya, Mbak," jawab Karina sambil terisak.
Mereka diam sejenak.
"Kamu mau nggak tinggal di Bandung sama Mbak? Nanti kamu pindah kuliah di sini, nanti Mbak yang urus semuanya."
"Aku nggak mau ngerepotin Mbak Rossa dan Mas Erik, Mbak."
"Kok ngerepotin sih, ya enggak dong Rin, kamu mau ya? Biar Mbak nggak khawatir," kata Rossa meyakinkan Karina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selir [TAMAT]
HorrorSetelah kematian kedua orang tuanya, Karina merasa tidak memiliki siapa-siapa lagi. Dan dia tidak tahu harus bagaimana menjalani hidupnya karena harta orang tua nya pun habis untuk membayar hutang ke bank. Beruntung ia masih memiliki seorang sepupu...