3: Hukuman

3.7K 389 1
                                    

Prilly kira, dengan duduk dengan Damar, semuanya akan berjalan dengan baik. Menjauhi Ali, menolak sebangku dengan cowok itu, rupanya akan tetap menjadi suatu hal yang sial untuk dirinya.

Kalau sudah seperti ini, pemikiran Prilly langsung berkecimpung pada Amel. Kalau saja cewek berkulit kuning langsat itu bisa lebih tegas sedikit, tatkala Ali mengambil hak bangkunya, pasti dia tidak akan terlibat oleh kasus sialan ini.

"Tolong, ya, saya nggak mau ada murid saya duduk dengan berlawanan jenis!"

Semua diam, kecuali Prilly yang merasa tidak bersalah. Hingga suara cewek itu mulai merobek kesunyian isi kelas, "lho, saya nggak—"

Bu Ardhe menyela dengan kasar, seolah menindas Prilly dengan terang-terangan. Apalagi, penggaris panjang yang Bu Ardhe genggam sudah nyaris patah karena berkali-kali beliau pukulkan pada papan tulis. "—diam! Saya juga nggak suka ada murid yang menyela omongan saya!"

Plis, ini hanya masalah bangku. Dan kesalahan ini bermula dari Ali. Kalau saja Ali nggak se-alay itu, menyerobot bangku milik Amel, pasti Bu Ardhe nggak mungkin marah-marah di pagi hari ini.

Amel langsung berdiri dari bangkunya, menenteng tas ransel tosca-nya. Niko ikut berdiri, memberikan sebuah lahan lenggang untuk cewek itu keluar dari bangku pojok.

Prilly ikut berdiri. Bermaksud ingin pindah ke bangku semula. Dia ingin mempertahankan bangku miliknya. Tapi, Ali malah enak-enakan duduk sambil memutar-mutar bolpoin.

"Ali, pindah! Buruan!" desis Amel.

Prilly sengaja membekukan suaranya. Malas berdebat lebih dengan yang satu ini. Lalu, sepasang mata mereka saling bertemu, sebelum Prilly membuang mukanya secara acuh.

Ali menarik napasnya panjang, dan mengeluarkannya dengan gusar. "Hmm, ambil bangku lo. Nggak enak. Enakan bangku punya gue."

Keheningan kembali tercipta.

Gerak-gerik Prilly dan Amel masih dalam pengawasan Bu Ardhe. Pada akhirnya, beliau kembali duduk ke bangkunya, dan mulai membuka jurnal ajarnya.

Pagi ini adalah pagi yang teramat sial, bagi Prilly.

"Nomor dua, tugas yang kemarin, siapa yang mau maju?"

Baru juga duduk dengan tenang, sudah pompa jantung lagi. Dengan hormat, Prilly ingin menyatakan, dia tidak suka Fisika. Tapi, bukan berarti dia tidak menyukai Bu Ardhe.

"Prilly, mau maju?"

Mampus.

Cewek itu sedikit menyatukan alisnya, membuka catatannya perlahan. Prilly baru menyadari satu hal, buku catatan Prilly sama sekali tidak rapi, kumal, jelek, banyak goresan tinta yang dia tulis tanpa pemahaman. "Saya?"

"Iya, siapa lagi?"

Dia menyikut lengan Amel. Seolah memberi sebuah kode gimana-nih-Mel?

"Lo lupa? Gue putus sama Bima karena dia pinter Fisika, sedangkan gue bego?"

Mampus.

Gimana, dong?

"Saya aja," terdengar suara dari belakang.

FAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang